Rahman Tolleng adalah legenda di kalangan aktivis politik
Indonesia. Kepada Deutsche Welle ia menyampaikan pandangan tentang tugas
Sosialisme, problem oligarki dan Sri Mulyani. Rahman Tolleng adalah
kisah tentang cinta yang keras kepala. Tentang apa yang diinginkan dan tidak
selalu tercapai. Ia terlibat dalam banyak momen penting Republik. Ia selalu
bergerak karena ia punya cita-cita tentang Indonesia.
Sosoknya paradoks, ia adalah orang yang aktif sekaligus “tidak
terlihat“. Rahman Tolleng tidak begitu suka tampil, ia sangat jarang bersedia
diwawancara, meski pintunya selalu terbuka untuk diskusi politik.
Ya, politik adalah passion-nya,
meski lebih banyak berakhir dengan kekecewaan.
Setelah ikut menjatuhkan Soekarno dan membidani orde baru,
Rahman Tolleng berusaha mengubah dari dalam: ia bercita-cita membentuk Golkar
menjadi partai modern.
“Tapi saya gagal, saya kalah...“ kata Rahman Tolleng
menceritakan pergulatan politiknya di awal pembentukan orde baru kepada Deutsche Welle.
Deutsche Welle : Sebagai orang yang
membidani orde baru apakah anda menyesal?
Rahman Tolleng : Saya tidak bisa dikatakan
pendukung orde baru, ya saya ikut menegakkan tetapi dengan konsep yang berbeda.
Konsep saya ingin membentuk organisasi politik menjadi partai modern, ideologis
dan disiplin. Tapi yang berjalan kan konsepnya Soeharto. Saya gagal, saya kalah
dalam banyak hal: misalnya dulu saya juga mengidamkan terjadinya dwi partai,
sebuah partai pemerintah yang dipimpin oleh Soeharto dan partai-partai lama
dibiarkan menjadi sebuah partai oposisi. Ide ini saya lemparkan melalui Ali
Moertopo (Asisten Pribadi Presiden Soeharto-red), tapi Soeharto menolak.
DW : Ketika melontarkan ide ini, apakah
anda dan kawan-kawan yang ingin memperbaharui Golkar mendapat cukup dukungan
dari dalam?
Rahman Tolleng : Pada awalnya kami mendapat
dukungan. Konsep itu saya lempar saat mewakili Golkar dalam pertemuan yang
dihadiri Bakin, Golkar, ABRI. Saat itu saya uraikan bahwa Golkar ibarat satelit
yang butuh bantuan agar bisa meluncur. Apa boleh buat bantuan ini berupa ABRI
dan Birokrasi sebagai alat peluncur. Tapi kan seharusnya alat peluncur tidak
ikut terus menerus. Saat satelit sudah berada di orbit, alat bantu itu harus
dilepaskan: ABRI lepas, birokrasi juga lepas, agar Golkar menjadi partai
politik modern. Tapi Jenderal Maraden Panggabean (Wakil Panglima AD-red) dalam sebuah
kesempatan lain menanggapi ide itu dengan mengatakan: di sini ada orang-orang
yang ingin memisahkan markas Golkar dari markas ABRI, dan ingin membuat markas
sendiri. Karena itu kita harus berhati-hati. Saat itu, semua orang yang
mengerti langsung melihat ke arah kami. Wah, kita sudah hancur lagi di situ…
DW : Siapa yang
paling keras menghantam ide pembaharuan anda ketika itu?
Rahman Tolleng : Ini juga diwarnai persaingan antar
para Jenderal. Jadi itu konflik mereka, tapi konflik itu menggunakan atau
menjadikan sasaran orang-orang seperti saya. Waktu itu ada Forum Jenderal, yang
sebenarnya lebih banyak dipakai untuk menghantam Ali Moertopo dan Sudjono
Humardani (Keduanya adalah Aspri Soeharto-red). Pada suatu ketika sehabis
pertemuan Forum Jenderal, Ali Moertopo minta kami ngumpul, ia bilang ada
sesuatu yang penting. Ali Moertopo menerangkan bahwa dia baru diserang
habis-habisan karena dituduh menampung PSI (Partai Sosialis Indonesia-red). Ali
Moertopo bilang bahwa ia dalam forum itu mengaku memang menampung PSI, tapi PSI
yang baik. Bahkan dia balik menyerang para Jenderal lainnya yang juga menampung
PSI yang justru beroposisi kepada pemerintah.
DW : Lalu apa yang terjadi?
Rahman Tolleng : Dalam pertemuan dengan kami itu,
Ali Moertopo membuat lima kategori: PSI terbaik adalah PSI Rahman Tolleng.
Nomor dua, PSI yang masih bisa kerjasama tapi tidak sepenuh hati yaitu PSI
Widjodjo Nitisastro dan Emil Salim -- ketika itu saya pikir dia PSI kan saja
semua orang hehe…PSI ketiga yaitu Soemitro Djojohadikoesoemo. PSI keempat yang
sudah agak jauh yaitu Soedjatmoko dan Soebadio Sastrosatomo. Kemudian PSI
kelima yang benar-benar sudah musuh yakni new left seperti Arief Budiman…
Rahman Tolleng adalah tokoh bawah tanah GMSOS, organisasi
mahasiswa yang berafiliasi kepada partai terlarang PSI pada era `60-an. Setelah
itu ia memimpin Mahasiswa
Indonesia, mingguan yang ditopang jaringan intelektual, aktivis dan
penulis yang mendukung ide Negara sekuler modern.
Profesor Robert W. Hefner, dalam buku Civil Islam: Muslims and Democratization
in Indonesiamencatat bahwa Rahman Tolleng adalah satu diantara
pemikir paling brilian dari generasi `66. Dalam sebuah pleno DPR-GR tahun 1969,
Rahman Tolleng mengusulkan agar Indonesia menerapkan sistem pemilu distrik.
Gagasan itu kandas.
Pada puncak kekuasaan orde baru awal `90-an, Rahman Tolleng
bersama Gus Dur, Marsillam Simanjuntak dan sejumlah tokoh lain mendirikan Forum
Demokrasi yang mengambil sikap oposisi terhadap rejim. Ia ikut memberi saham
pada perjuangan reformasi `98. Kini, Indonesia berubah. Tapi lagi-lagi tidak
seperti yang ia bayangkan.
“Kita seolah berada dalam situasi statelessness atau tanpa
Negara,” kata Rahman Tolleng.
DW : Bagaimana anda mendefiniskan
politik anda hari ini, apakah anda masih Sosialis?
Rahman Tolleng : Dalam arti longgar, saya masih
Sosialis. Longgar artinya tidak dogmatis lagi pada Marxisme, karena sudah banyak
perubahan. Tetapi jurang antara kaya dan miskin sekarang kan tidak berubah,
bahkan semakin dalam. Saya kira memperbaiki kehidupan rakyat miskin itu apakah
bukan cita-cita Sosialisme? itu memang longgar. Tapi saya tidak akan memakai
teori pertentangan kelas.
DW : Jadi tugas Sosialisme bagi anda
kini adalah menyelesaikan masalah kemiskinan?
Rahman Tolleng : Ya antara lain itu. Tentu juga bagaimana
supaya Kapitalisme dan Globalisasi lebih dijinakkan. Saya tidak menolak
globalisasi, tidak menolak kapitalis. Kalau mau saya rumuskan, Sosialisme saya
sekarang mungkin tergolong Liberal Sosialis: dekat dengan gagasan Carlos
Roselli di Italia, yang mencoba memadukan gagasan Liberalisme dengan
Sosialisme.
Wartawan senior Goenawan Mohamad lewat Catatan Pinggir merekam
sosok Rahman Tolleng dalam "Mikropolitik": militansi dari aksi yang
terbatas. Ia bukan rencana mengubah alam semesta berdasarkan wajah sendiri.
Tapi ia tak takut kepada yang mustahil.
Keberanian pada yang mustahil dan cinta yang keras kepala pula
yang membuat Rahman Tolleng tidak berhenti bergerak. Sistem politik Indonesia
kini, kata dia adalah perkawinan antara demokrasi dengan oligarki, dan tugas
dia sebagai seorang Sosialis adalah menghabisi oligarki.
Atas alasan itulah ia ikut mendirikan partai Serikat Rakyat
Independen SRI. Ia menyebut ini gerakan revolusi dari atas yang ditempuh dengan
cara mencari calon presiden yang jujur, tegas, menentang oligarki dan bukan
bagian dari para oligark. Figur itu ia lihat ada pada sosok Sri Mulyani yang
dianggap bisa membersihkan oligarki.
Sosialisme, bagi Rahman Tolleng bukan sekedar etik, tapi
tindakan: sebuah operasi.
DW : Banyak kalangan kiri yang mengkritik
anda: kenapa seorang Rahman Tolleng yang Sosialis, mau mendukung Sri Mulyani
yang dicap sebagai Neolib?
Rahman Tolleng : Saya tidak membantah itu. Tapi
yang saya bantah adalah: apakah benar Sri Mulyani Neolib? Di mana Neolibnya?
Sebagai contoh, di Departemen Keuangan Sri Mulyani mengalokasikan dana untuk
pendidikan perempuan, apakah itu faham Neolib? itu kan faham affirmative action. Kedua,
ekonom dari tradisi universitas pada umumnya memang Neolib, tapi Sri Mulyani
berubah. Apalagi sesudah di Bank Dunia, dia sangat memperhatikan kemiskinan.
Jadi nggak benar itu! Harus dibedakan juga kalau mereka mengatakan ekonomi
kerakyatan, ekonomi kerakyatan apa? Coba mereka sebutkan secara konseptual!
Saya sebut ekonomi mereka itu semua populis saja… ini gratis, itu gratis…itu
bukan ekonomi rakyat, yang ada malah bisa hancur ekonomi kita. Populisme bukan
Sosialisme, jangan salah!
DW : Jadi Sri Mulyani menurut anda
berada dalam koridor doktrin sosialisme yang anda yakini?
Rahman Tolleng : Saya rasa begitu…
DW : Apa kritik anda terhadap kelompok
kiri Indonesia?
Rahman Tolleng : Mereka selalu ingin kembali kepada
ortodoksi. Padahal situasi dunia sudah jauh berubah…
DW : Anda mengakui gagal: membidani
Golkar tapi partai itu berkembang jauh dari bayangan anda. Ikut mendorong
reformasi, tapi hasilnya adalah anarki seperti yang anda sebutkan. Apakah anda
pernah kehilangan harapan?
Rahman Tolleng : Tidak, saya tetap memelihara politics of hope. Saya
optimis bisa diperbaiki, pada dasarnya menusia memang serakah, tapi dalam diri
manusia ada sifat-sifat baik yang masih mungkin digali.
Rahman Tolleng adalah pemimpin redaksi mingguan Mahasiswa
Indonesia `66. Pendiri Golkar dan menjadi anggota DPR-GR, Pendiri Fordem
awal `90. Mendirikan SRI 2011.
Dikutip dari : Andy Budiman Deutsche Welle (DW) 21.05.2013