Rabu, 03 Agustus 2011
Tan Malaka, Sang Pejuang Yang Disingkirkan Negara
Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia. Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya ”Bapak Republik Indonesia”. Soekarno menyebutnya ”seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.
Ia seorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora. Namanya Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan kini mungkin dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap ini: kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi.
ORDE Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi, harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan. Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI: musuh abadi Orde Baru.
Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso—orang yang telah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai—ketimbang Tan. Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan. Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat nama—salah satunya Tan—apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap. Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu berbunyi: ”…jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.”
Politik memang kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup. Ketika Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 36 tahun lalu, mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru sekolah itu terkejut. Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) itu pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin berselancar di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudian Poeze datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan, tersembunyi di balik lemari sekolah.
Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.
W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat ”Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk ”Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain menulis, ”Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri…. Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”
Di seputar Proklamasi, Tan meno-rehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan ”masih sebatas catatan di atas kertas”. Tan menulis aksi itu ”uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan”. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.
Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.
Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer—dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.
Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. ”Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan pemuda.
Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens.
Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. ”Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.
Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, ”Di depan Tuhan saya seorang muslim” (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.
Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini, ketika negeri ini genap 63 tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang lahir dari aneka keputusan politik itu, dan mencoba mengungkai kembali riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, dan lainnya. (via Jevka.com)
Selasa, 02 Agustus 2011
BULAN SUCI RAMADHAN 1432 H TAHUN 2011
Embun suci di pagi hari, hati yg bersih ‘kan lahir kembali. Bulan ramadhan t’lah menanti, bersihkan diri menghadap Ilahi.
Mohon maaf atas segala khilaf yang ada, selamat menunaikan ibadah puasa, semoga ibadah kita diterima Allah ta’ala.
Selasa, 10 Mei 2011
Tentang Pemberdayaan UKM yang digagas oleh H. Aburizal Bakri.
Bagaimana cara untuk terlibat?
Bagi masyarakat:
Mengisi formulir nominasi yang dapat diunduh dari laman www.bersamabangkit.com
Bagi pelaku usaha kecil:
1. Menominasi diri sendiri atau meminta pihak lain.
2. Pelaku usaha kecil yang terpilih berkomitmen untuk mengikuti seluruh rangkaian
3. Pelaku usaha kecil yang belum terpilih bisa mendapatkan dan mempelajari buku pengembangan usaha. Pelaku usaha kecil juga dapat dinominasikan untuk tahun berikutnya.
Kapan pelatihan dimulai ?
Kegiatan direncanakan setiap tahun dimulai pada bulan Mei tahun 2011.
Pilot project pelatihan sudah diselenggarakan pada bulan April 2011.
Dimana program dilaksanakan?
1. Program dilaksanakan di 33 propinsi di seluruh Indonesia.
2. Pada setiap propinsi akan dipilih sejumlah pelaku usaha kecil yang akan mendapatkan paket pengembangan usaha.
3. Kursus dan konsultansi pengembangan usaha akan dilaksanakan di tempat-tempat yang mudah dijangkau oleh para pelaku usaha kecil
4. Fasilitas publik yang representatif akan menjadi tempat kursus dan konsultasi.
Siapa saja yang dapat terlibat?
1. Yang berhak mendapatkan dukungan pengembangan usaha adalah:
2. pelaku usaha kecil di 33 propinsi di seluruh Indonesia (dibuktikan dengan KTP),
3. yang telah menjalankan usahanya selama lebih dari satu tahun,
4. Perhatian secara khusus akan diberikan kepada pelaku usaha kecil perempuan dan pemuda
5. Masyarakat dan berbagai elemen dapat terlibat dengan menominasikan pelaku usaha kecil yang dikenal melalui proses yang telah ditentukan.
Apa yang ditawarkan program ini?
1. Partisipasi masyarakat untuk menominasikan pelaku usaha kecil
2. Kursus pengembangan usaha bagi pelaku usaha kecil
3. Insentif untuk realisasi rencana pengembangan usaha
4. Diseminasi pengetahuan pengelolaan usaha kecil melalui buku
5. Konsultansi dan pendampingan usaha bagi pelaku usaha
Siapa di belakang program ini?
1. Program pengembangan usaha kecil merupakan inisiatif H. Aburizal Bakrie selaku Ketua Umum Golkar
2. Golkar berani mengambil inisiatif konkrit memberdayakan tulang punggung ekonomi rakyat, tidak terjebak dalam wacana dan retorika
3. Golkar menerjemahkan politik kerakyatan melalui program konkrit diseluruh Indonesia
4. Pelaksana program ini adalah Gerakan Ayo Bangkit yang memiliki jaringan, trainer, dan konsultan usaha kecil yang profesional.
Apa Pentingnya Pelatihan
1. Saat ini lebih dari 98% pelaku usaha di Indonesia adalah pelaku usaha kecil. Memberdayakan pelaku usaha kecil akan memiliki dampak nyata pada pemberdayaan ekonomi rakyat, mengatasi penggangguran dan kemiskinan.
2. Sebagian besar dari pelaku usaha kecil tidak memiliki akses kepada sumber daya ekonomi yaitu modal finansial dan kapasitas usaha.
3. Pemerintah dan berbagai pihak telah mengembangkan program untuk memberikan akses modal seperti melalui KUR
Tetapi inisiatif mengembangkan kapasitas usaha para pelaku usaha kecil masih terbatas.(via www.bersamabangkit.com)
Bersama Bangkitkan Usaha Menengah Kecil dengan Bung Ical

Selasa, 08 Maret 2011
Ical: Golkar Sudah Kenyang Kekuasaan

Senin, 07 Maret 2011
Tentang Sebelas Butir Kesepakatan

Akbar Tanjung Dorong SBY Cepat Lakukan Reshuffle.

Sabtu, 29 Januari 2011
REVOLUSI SANG TUKANG BUAH
*
24 Januari 2011
INTIFADAH! Kata yang akrab terdengar di Palestina itu sering diucapkan warga Tunisia sebulan terakhir ini. Gambaran si kecil David melawan raksasa Goliath tak ubahnya seperti satu juta orang yang berbaris melawan ribuan polisi dan tentara selepas salat Jumat di pusat Ibu Kota Tunis dua pekan lalu.
"Kami menyerbu Stasiun Metro Barcelona dan dihadang gas air mata. Kami berlari ke Bourguiba Avenue, Champs-Elys�es Tunisia. Di sana, kami kembali berhadapan dengan tongkat dan senapan tentara," tutur Kamel Riahi, novelis Tunisia. Hasilnya sebuah Tunisia yang baru: tanpa sang diktator Zine el-Abidine Ben Ali-tapi ia diperkirakan masih memiliki pengaruh kuat di tubuh partai yang berkuasa (Perkumpulan Demokratik Konstitusional atau RDC) sepanjang 23 tahun.
Empat menteri kabinet mengundurkan diri dan beberapa menteri lain melepaskan keanggotaannya dari partai yang berkuasa, menyusul gelombang demonstrasi yang telah menewaskan 83 orang itu, pekan lalu. Namun para demonstran yang masih bergerak di jalan-jalan tetap menuntut pembubaran RDC dan pembentukan pemerintahan baru yang bersih dari pengaruh Ben Ali dan kaki tangannya.
Jasmine Revolution atau Revolusi Kembang Melati-begitu pers Tunisia menyebutnya-terpicu oleh sebuah drama di depan sebuah kantor gubernur, 17 Desember tahun lalu. Tersebutlah Mohammad Bouazizi, sarjana ilmu komputer yang tengah menganggur dan berutang US$ 200 untuk membeli gerobak buah buat berjualan di kaki lima. "Aku pergi, Ibu. Maafkan, aku tidak patuh. Aku pergi dan tidak akan kembali," katanya dalam dinding akun Facebook-nya.
Pekan itu, polisi Tunisia merazia jalanan Kota Sidi Bouzid, 256 kilometer dari Tunis. Malang, gerobak Bouazizi disita. Dia mengadu ke balai kota, tapi tidak digubris. Kecewa, pemuda 29 tahun itu membeli dua kaleng bensin, lalu membakar diri sendiri di depan kantor gubernur.
Tubuhnya luka parah. Tiga minggu kemudian, dia meninggal. Kematiannya memicu protes. Lima ribu pelayat berteriak, "Kami akan membalaskan dendam Anda, Mohammad!" Pemakam-an berakhir rusuh. "Saudaraku telah menjadi simbol perlawanan di dunia Arab," ujar kakaknya, Salem Bouazizi.
Lelah dengan kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik, gelombang demonstran meluas. Rakyat Tunisia menuntut lapangan pekerjaan, upah layak, dan kebebasan berpendapat. Mereka juga mendesak Presiden Tunisia Zine el-Abidine Ben Ali lengser.
Ajakan revolusi juga menyebar lewat Twitter dan Facebook. Orang dari Mesir, Aljazair, dan Mauritania mengikuti jejak Bouazizi: membakar diri sebagai aksi protes atas ketidakadilan sosial. Di Mesir, Hosni Mubarak, yang berkuasa sejak 1981, didesak turun.
Kamis dua pekan lalu, Presiden Ben Ali berpidato dengan emosional. "Saya memahami Anda. Silakan menghentikan kekerasan," katanya. Dia berjanji memenuhi tuntutan demonstran, menyediakan 300 ribu pekerjaan, dan tidak akan mencalonkan diri pada 2014. Namun terlambat, rakyat Tunisia telanjur marah.
Tunisia genting. Ben Ali membubarkan pemerintah dan menyatakan keadaan darurat. Esok paginya, televisi pemerintah Tunisia mengumumkan Ben Ali resmi mengundurkan diri. Ketua Mahkamah Konstitusi Fethi Abdennadher menyatakan Ben Ali sudah hengkang dari Tunisia. Dia minggat memboyong 30 anggota keluarganya. Ketua Parlemen Fouad Mebazza ditunjuk menjadi presiden sementara. Perdana Menteri Mohamed Ghannouchi membentuk kabinet koalisi dan menggelar pemilihan umum enam bulan lagi.
Kabinet baru Ghannouchi ditolak rakyat karena dianggap perpanjangan tangan Ben Ali. Ada delapan wajah lama yang masih dipakai dan menempati posisi kunci. Akhirnya, empat menteri dari kubu oposisi memutuskan mundur.
Sejak Desember hingga Sabtu pekan lalu, setidaknya 42 orang dilaporkan tewas dan ratusan luka-luka. Aksi demonstrasi menolak pemerintahan sementara masih melanda Tunisia hingga hari ini.
Dua orang tenaga kerja asal Indramayu, berinisial S dan J, juga sempat terjebak di istana kepresidenan di Carthage. Duta Besar Indonesia untuk Tunisia, Muhammad Ibnu Said, mengatakan keduanya bekerja pada anak-anak Ben Ali sejak tiga tahun lalu. "Mereka adalah TKW ilegal yang masuk Tunisia memakai visa turis," katanya kepada Tempo. Sebanyak 120 orang warga negara Indonesia lainnya dilaporkan selamat.
l l l
Rakyat Tunisia sudah lama menjuluki Ben Ali sebagai "Ben � Vie" atau presiden seumur hidup. Sejak 1987, sudah lima kali dia menang telak dalam pemilihan umum dengan perolehan suara hampir sempurna.
Ben Ali, direktur keamanan nasional, adalah tangan kanan presiden pertama Tunisia, Habib Bourguiba. Pada November 1987, Ben Ali melakukan kudeta tak berdarah. Dia menyatakan Bourguiba tidak layak memerintah karena sakit keras. Ben Ali menjadi orang nomor satu Tunisia pada usia muda, 49 tahun.
Awalnya Ben Ali menjadi pahlawan rakyat. Dia dianggap tokoh reformasi karena melarang penangkapan dan penyiksaan sewenang-wenang. Tapi harapan rakyat Tunisia perlahan menguap. Ben Ali tak ubahnya seperti Bourguiba: memimpin dengan tangan besi.
"Dia mengelola negara seperti mafia," kata Duta Besar Amerika untuk Tunisia, Robert F. Godec, dalam kawat diplomatik ke Washington. Godec, yang menghadiri jamuan makan siang di rumah anak tiri Ben Ali, Mohammad Sakher el-Materi, tercengang. Keluarga ini bergelimang kemewahan, sementara rakyat Tunisia kesulitan ekonomi. "Inilah yang memicu kemarahan warga Tunisia," kata Godec.
Kerajaan Ben Ali menguasai sebagian besar bisnis di Tunisia. Kekayaan dia dan keluarganya mencapai Rp 73 triliun. Leila Trabelsi, istri kedua Ben Ali, menguasai seluruh bisnis properti di negara itu. Mantan penata rambut ini diduga memiliki emas batangan hingga 1,5 ton senilai Rp 543 miliar.
Bagaimana nasib sang diktator kini? Jumat itu, Ben Ali mencari perlindungan ke Prancis, negara yang selalu mendukungnya selama dua dekade terakhir. Tapi Presiden Nicolas Sarkozy menolak memberikan suaka. Pesawatnya bahkan tidak diizinkan mendarat. Ben Ali lalu mengais suaka di Malta, Uni Emirat Arab, dan Italia. Namun usahanya sia-sia.
Peruntungan datang di Arab Saudi. Ben Ali, 75 tahun, diberi tempat berlindung di sebuah vila yang pernah dipakai diktator Uganda, Idi Amin. Di tempat peristirahatan inilah Idi Amin menghabiskan 13 tahun terakhir hidupnya sebelum meninggal pada 2003. Sami Moubayed, pengamat politik Suriah, berkomentar, "Ironis. Selama berkuasa, Ben Ali melarang perempuan berjilbab dan tak membolehkan masjid mengumandangkan azan."
Setelah 23 tahun memerintah, Presiden Ben Ali digulingkan lewat peristiwa paling dramatis dalam sejarah Arab kontemporer. Bukan tank Amerika Serikat yang menggulung simbol Tunisia ini, seperti nasib Saddam Hussein pada 2003. Bukan pula ulama bersorban yang merebut kekuasaan, seperti ketika Shah Iran digulingkan pada 1979. Melainkan orang-orang Tunisia, warga biasa, tua dan muda, yang bangkit dengan satu suara, "Intifadah!"
Di bandar udara, saat rombongan Ben Ali meninggalkan tanah kelahirannya, para demonstran memegang spanduk besar, mengusir sang mantan presiden. "Game over, Ben � Vie!"
Ninin Damayanti (Guardian, Washington Post, Telegraph, Asiatimes.com)
Langganan:
Postingan (Atom)