Kamis, 26 Februari 2009

Refleksi Politik Surabaya 2004-2009 (catatan politik)

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) boleh mengklaim sebagai partai dakwah, partai bersih, partai anak muda atau partai reformis (?), tapi kenyataan di lapangan seringkali berbicara lain. Banyak politisi PKS yang tidak berbeda perilakunya dari politisi partai lain. Bedanya mungkin hanya satu: politisi PKS memelihara jenggot, politisi lain tidak. Cuma itu saja. Selebihnya, politisi PKS sama saja dengan politisi parpol lain. Malah acap lebih parah. Politisi PKS lebih naif dalam bermain politik. Mereka tidak bisa melihat realpolitik sebagai arena pragmatis, yang harus dibedakan dari wacana politik yang memang idealis. Kedua wilayah itu dicampuradukkan dan bahkan merugikan PKS sendiri. Selama Pemilu 2004, PKS di Surabaya memang tampil mengejutkan karena berhasil meraup tiga kursi di DPRD, lalu bersama dengan Partai Demokrat (PD), mereka membentuk Fraksi Demokrasi dan Keadilan (FDK). Sejak awal dilantik sebagai anggota dewan, para politisi PKS sudah menunjukkan gejala canggung menghadapi sorotan publik. Alih-alih untuk memperjuangkan hajat hidup warga Surabaya, mereka justru terjebak kedalam putaran wacana politik yang tidak jelas. Mereka larut dalam idiom-idiom politik yang mengawang-awang, jarang membumi dan kurang memperlihatkan sikap terbuka kepada keaneka-ragaman interest. Dibandingkan politisi Golkar, meski sama-sama baru masuk gedung dewan, politisi PKS jelas kalah luwes. Ketidakluwesan mereka tampak nyata ketika memasuki masa rencana pembentukan koalisi antara bulan Februari sampai April 2005. Karena merasa ditinggal oleh PD yang berkoalisi dengan PAN, maka PKS berusaha mendekati PDIP. Lobi-lobi tingkat atas mulai berjalan, sejumlah pertemuan digelar, antara politisi PKS dan PDIP. Kenapa PDIP tertarik dengan PKS? Tidak lain dikarenakan klaim sepihak dari PKS, bahwa mereka punya mesin politik sampai tingkat kecamatan, RT/RW, yang siap digerakkan. Klaim semacam itu tentu saja manjur untuk dijadikan pemikat kepada PDIP, tapi klaim itu belum tentu mujarab untuk membentuk koalisi permanen menuju Pemilihan Walikota (Pilwali) 2005. Masalahnya sederhana, PDIP bukanlah parpol kemarin sore. Para politisi PDIP di Surabaya adalah mantan demonstran, aktivis dan sudah teruji di lapangan. Begitu mereka mendengar PKS mempunyai mesin politik yang tangguh, serta-merta mereka melakukan pengecekan di lapangan. Hasilnya? PKS hanya kuat di beberapa kantong saja, seperti di kecamatan Sukolilo, kecamatan Pabean Cantikan (daerah Tanjung Perak) dan kawasan Kauman Kalimas Udik. Di tiga kawasan itu, PKS memang unggul dalam perolehan suara pada Pemilu 2004. Selebihnya, PKS rontok. Nah, fakta politik ini tentu menjadikan para politisi PDIP berpikir ulang untuk menyepakati rencana koalisi dengan PKS. Apalagi, belum apa-apa PKS sudah menyodorkan 'kontrak politik' yang wajib ditandatangani ketua DPC PDIP beserta jajarannya. Tentu saja, setelah melihat isi kontrak itu, para politisi PDIP geleng-geleng kepala sembari mengurut dada, sebab dalam kontrak itu PKS implisit sudah minta jatah kekuasaan. Belum berkuasa saja sudah minta jatah, apalagi nanti kalau koalisi jadi dibentuk, tentu PDIP yang akan ditunggangi. Begitu kira-kira jalan pikiran politisi PDIP. Untuk menunjukkan keseriusan, PKS mendatangkan Sekjen DPP PKS Suripto. Mantan orang BAKIN ini jauh-jauh datang ke Surabaya khusus untuk mendorong PKS agar jadi berkoalisi dengan PDIP. Meski berlatarbelakang intelijen, Suripto tetap tidak bisa membaca peta politik Surabaya yang khas. Informasi dari DPW maupun DPD PKS kepada Suripto hanyalah informasi akan kadarnya, bukan informasi yang bisa diolah menjadi data untuk aksi-aksi lapangan. Suripto menganggap kehadirannya bisa memberi sinyal kepada PDIP Surabaya, bahwa PKS bersungguh-sungguh hendak berkoalisi. Akan tetapi, ada faktor lain yang luput dari pertimbangan atau perhatian Suripto Cs. Faktor itu adalah permainan politik non-formal diluar lobi-lobi resmi lintas parpol. Ketika Suripto merancang strategi bersama PKS di kantornya di Jl Embong Wungu, Surabaya. Pada saat yang sama, kelompok politisi jalanan memainkan strateginya. Mereka adalah Jalil, Cholik dan beberapa orang, yang biasa nongkrong di Dome Cafe Tunjungan Plaza. Dari pembicaraan mereka, tersingkap bahwa mereka akan mendorong Arif Affandi (Pimred Jawa Pos) untuk maju sebagai calon wakil walikota (cawawali). Untuk itu, diperlukan kecepatan menggunting pendekatan yang dilakukan PKS kepada PDIP, setelah itu Arif Affandi dipasangkan dengan Bambang DH. Suripto tak mengetahui rencana ini. Dia sibuk dengan analisa gombal ala politisi PKS yang baru belajar politik. Politisi PKS terlalu beranggapan, bahwa permainan politik itu bersifat linier. Entah mengapa, mereka mengabaikan adagium lama, bahwa bermain politik itu harus faham lapangan dan teknik bermain zig-zag, bukan permainan lurus bak rumus matematika. Pada 16 Februari 2005, Arif mendaftar ke sekretariat PDIP dengan diringi reog Ponorogo dan para pendukungnya. Nyaris seluruh jurnalis, reporter dan jajaran media massa ikut hadir dalam launching di gedung PWI Jatim itu. PKS spontan kaget setengah mati. Mereka tidak menyangka, Arif akan mau dipasangkan sebagai cawawali dengan Bambang DH, sebab selama ini rumor yang beredar, Arif akan maju sebagai cawali, bukan cawawali. Ketika fakta berbicara lain, politisi PKS pun tak berkutik dan mereka hanya terdiam membisu. Habis sudah peluang mereka untuk bisa masuk ke lingkungan Pemkot Surabaya. Sebab, parpol lain pun sudah tak mau menggandeng PKS yang acap 'jual mahal' dan selalu ja-im (jaga imej). Begitu Arif sampai di kantor sekretariat pendaftaran PDIP, ia langsung disambut Bambang DH dengan senyum. Maka, buyarlah harapan PKS untuk bisa digandeng PDIP. Saat itu juga, Suripto langsung ngacir terbang balik ke Jakarta. Ini merupakan pelajaran berharga buat PKS yang acap gembar-gembor sebagai parpol reformis (?), bahwa liku-liku politik bukanlah jalan yang mudah semudah mereka berdakwah di kalangan ABG politik. Tapi rupanya, PKS tetaplah PKS, kesalahan fatal politisi PKS di Surabaya kemudian terulang kembali di Banten dan DKI Jakarta, meski dalam Pilwali Depok mereka menang, tapi itu kemenangan massa PKS, bukan dikarenakan kepiawaian politisi PKS.(Ini sepenggal tulisan yang tidak dimuat di media pada waktu itu karena sesuatu hal.tulisan ini berdasarkan pengamatan,pandangan mata,penggalian informasi tentang catatan politik Arif Afandi,saya adalah terlibat dalam kancah politik 2004-2009. Waktu itu saya bagian dari sub ordinasi dari Jalil Latuconsina.bertugas sbg penggalangan massa untuk dukungan kpd Arif Afandi di rumah makan taman apsari surabaya.(Penulis Bidot Suhariyadi.)

Rabu, 25 Februari 2009

Politisi berwajah ‘Tom Cruise’

Dalam salah satu karyanya, Yasraf Amir Piliang yang berjudul Transpolitika (dinamika politik di dalam era virtualitas) mengajak kita untuk membayangkan: “bayangkan sebuah dunia politik yang di dalamnya tidak ada ruang politik, melainkan ruang digital politik. Tidak ada kebenaran politik melainkan manipulasi politik. Tidak ada kepercayaan politik melainkan perdayaan politik. Tidak ada realitas politik melainkan fatamorgana politik. Tidak ada kebajikan politik melainkan permainan bebas politik. Inilah dunia politik yang di dalamnya terjadi perubahan mendasar mengenai definisi dan pemahaman tentang ruang, kebenaran, kepercayaan, realitas, transendensi politik; yang mengubah pula secara mendasar konsep tentang politik itu sendiri.” Dalam tulisan ini, ingin saya paparkan tentang model (ber) politik yang lebih banyak focus pada persoalan sebagai ‘pencitraan’ para politisi dalam ruang (imaginasi) politik. politisi yang berhati seperti ‘Kapten Nathan Algren’ dalam film The Last Samurai. Dalam konteks ini, adalah penting bagi kita untuk melihat bagaimana politisi itu muncul atau menampilkan dirinya ke dalam ruang public, karena dunia politik bukan hanya sebagai ruang tempat lalu lalang para actor, sarana, prasana dan objek politik saja (fisikal dan psikis) akan tetapi juga sebagai ruang bagi ide, gagasan dan juga konsep. politisi secara tidak langsung melalui berbagai sarana yang dapat merepresentasikan dirinya, pemikiran dan tindakannya. Hal ini dapat dilihat melaui perang poster dan perang baliho oleh politisi di jalan-jalan . Hal lain yang juga dapat dilakukan oleh politisi adalah melalui cara, seperti mengundang para jurnalis secara massif. Peristiwa tersebut kemudian dapat di hadirkan kembali (representasi) melalui media surat kabar, majalah atau televisi dalam bentuk yang lebih heroic, lebih santun, lebih populis dan sebagainya. Yang pasti peran penulisnya atau wartawan sangat mempengaruhi penampilan kembali dari politisi tersebut. Tidak jarang malah tercipta ruang dimana imanensi politik terganggu oleh aspek-aspek luar dirinya. Maksudnya, peristiwa politik tidak lagi murni dimainkan oleh para politikus tetapi juga oleh actor diluar politikus (salah satu contoh adalahjurnalis). prorepresentasi atau penampilan politisi melalui ruang digital dimana pencitraan dapat dilakukan secara ‘membabi buta’ sekedar membangun image ‘baik’, image ‘peduli rakyat’, image ‘berjiwa muda’, image ‘seorang pemimpin kharismatik’ dan sebagainya. Segala tingkah laku politisi tidak lagi tercipta berdasarkan logika politik, misalnya hubungan antara penguasa dan rakyat (principal – agent) dimana rakyat menuntut politisi mengabulkan. Tetapi yang terjadi justru penampakan para politisi itu sangat ditentukan oleh logika dan mekanisme media itu sendiri seperti ‘idola’ atau ‘pengidolaan’ politisi melalui berbagai mekanisme pencitraan yang mengikuti gaya media komunikasi dan informasi seperti iklan dll. Segalanya di poles habis untuk membangun citra yang bukan sebenarnya. Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa penampakan politisi secara nyata (present/presentasi) akan membentuk logos dan kebenaran yang dapat disaksikan secara langsung. Sedangkan penampakan politisi melalui sarana (represent/representasi) dapat menimbulkan ‘kesan’ atau image belaka yang kebenarannya belum tentu dapat diterima. Dan lebih parah penampakan secara virtual jauh-jauh lebih tidak realistis karena politisi sebenarnya tidaklah tampil tetapi justru dicitrakan dan menampakkan banyak ketidak benaran akan dirinya seolah-olah benar.

Surat Dari Seorang Sahabat tentang Tokoh Kontroversial.

Perawakannya tinggi besar, berkumis dan berjenggot, rambut agak gondrong tapi semuanya putih. Sembari mengisap rokok dalam-dalam, dia sering duduk di Dome Cafe, Tunjungan Plaza. Di meja cafe itu, juga duduk para politisi lintas parpol, penggerak massa, aktivis organisasi dan ketua-ketua paguyuban. Sosok berjuluk 'Jenggot Putih' tersebut tidak lain adalah Jalil Laconsina, putra Maluku keponakan mantan Gubernur Maluku Akib Latuconsina dan sepupu mantan Gubernur Maluku Saleh Latuconsina. Bagi sahabat-sahabat dekatnya, Jalil akrab disapa 'Abah' atau 'Bang Jalil', sapaan yang menunjukkan kedekatan dan keakraban. Jalil adalah mantan aktivis mahasiswa '77/'78 dan jam terbangnya di dunia aktivis dan kepengurusan ormas sungguh sulit dijangkau aktivis biasa. Dialah satu-satunya penandatangan Petisi 50 dari Jatim. Akibat menandatangani petisi itu serta juga aktivitasnya menantang Soeharto dekade '70-an, Jalil kemudian harus merasakan dinginnya bui di Penjara Koblen, Surabaya. Ia dipenjara karena perkara politik tanpa proses pengadilan. Dasar demonstran, di penjara pun dia menggerakkan para narapidana untuk menuntut hak-hak dasariah, seperti memperoleh makanan yang layak. Dia memprovokasi para napi supaya bergerak memprotes sipir penjara yang tega memangkas jatah makanan empat sehat lima sempurna. Rupanya penjara menjadi tempat silaturahmi bagi sang 'Abah' dengan para napi. Banyak napi saat itu kagum pada wawasan Jalil dan mereka tetap melanjutkan silaturahmi itu meski sudah berada di luar penjara. Dua tahun lalu, alumni penjara Koblen berkumpul dan bersilaturahmi halal bi halal dengan abah di sebuah hotel berbintang. Semua biaya ditanggung oleh Jalil, yang baru saja memperoleh rejeki halal. Saya trenyuh menyaksikan para mantan napi dan keluarganya itu. Begitu melihat Jalil, mereka sesenggukan dan merangkul Jalil. Para sahabat lama kembali bersatu. Masing-masing menceritakan betapa kesehariannya kini sangat sulit karena harga kebutuhan pokok yang terus melambung, apalagi setelah pemerintahan SBY-JK menaikkan harga bensin sampai duakali setahun pada 2005 lalu. Kenaikan harga bensin duakali dalam setahun itu tercatat pertamakali dalam sejarah Indonesia sejak merdeka. Seperti biasa, Jalil hanya menyimak sembari mengisap rokok Dji Sam Soe dalam-dalam. Usai pertemuan silaturahmi itu, saat malam semakin larut, Jalil mengajak saya untuk santap malam di restoran hotel tersebut sembari sedikit berbincang, dan saya pun semakin mengenal sosok kontroversial ini. Ternyata dibalik perawakannya yang sangar, dia adalah orang berhati lembut, dibalik penampilannya yang eksentrik ternyata dia gampang iba. Siapa saja yang datang kepadanya dan berkeluh-kesah tentang kepedihan hidup, pasti disantuninya. Tak jarang, sikap ini kemudian sering dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya cuma ingin merogoh kocek sang abang. Teman-temannya sesama aktivis '77/'78 kini sudah bertebaran. Heri Akhmadi, sudah menjadi politisi Senayan dari PDIP, Ibrahim G Zakir (Bram Zakir) di Jakarta saat ini sudah menjadi rujukan para aktivis lapangan di Jakarta, bahkan Roem Tomatipasang, yang aktif memberdayakan masyarakat itu, kini sudah melanglang buana. Di lingkup Jatim, rekan-rekannya sesama mantan aktivis pun sudah berkibar di panggung politik dan ormas Jatim. Sebut misalnya, Ketua PWNU Jatim Ali Maschan Moesa, Ketua GP Ansor Jatim yang sekaligus Ketua PKNU Choirul Anam, juga sudah berkehidupan layak. Uniknya, Jalil tidak mau memilih jalan pintas jadi kaya dengan memanfaatkan lobi-lobi politik atau jejaringnya di kalangan pebisnis. Jalil lebih memilih untuk tetap di jalur kontroversial, yang tidak semua orang paham sepak-terjangnya. Contohnya, ketika nyaris setiap malam, dia kongkow-kongkow bersama (almarhum) KH Imam Jazuli (Gus Mik), tokoh Semaan Quran Jatim di Hotel Elmi Surabaya (Gus Dur sendiri segan pada Gus Mik). Banyak orang mengira, jamaah Elmi (salah-satu penggembiranya adalah Emha Ainun Najib) itu sedang mendem bir atau minum cocktail tiap malam, tapi sebenarnya, kalau disimak baik-baik dan diikuti dengan seksama, justru Jamaah Elmi itu sedang berbincang tentang tema-tema sufi dan politik, yang sulit dijangkau orang awam. Namun demikian, jangan salah sangka dulu. Jalil toh tetap membumi. Ketika menghadiri diskusi rutin Jamaah Elmi itu, sering pula Jalil mengajak para bromcorah, preman atau pengamen jalanan, untuk ikut menikmati santap malam di hotel. Kadang jumlah mereka sampai puluhan, dan mereka senang sekali bisa makan rutin nyaris seminggu dua kali bersama sang abah. Sembari makan, biasanya mereka bersenda-gurau dan kebiasaan Jalil ini dimulai sejak ia keluar dari penjara dan meniti karir bisnis dengan mendirikan perusahaan bernama PT Salamander Jaya. Suatu ketika saya tanya pada dia, kenapa dinamakan salamander? Itu kan nama binatang. ''Salamander itu binatang yang bisa hidup dimana saja, Rud. Harapanku, perusahaan ini bisa hidup dalam situasi apapun, termasuk dalam musim pancaroba politik...hehehe'' jawab Jalil singkat. Ajaibnya, PT Salamander memang tetap eksis ditengah krisis berkelindan sepanjang tahun 1997-1998. Rupanya, Jalil memang piawai menggerakkan roda bisnis dan ia acap pula membagi-bagikan uang hasil bisnis itu kepada wong cilik, yang diundangnya santap malam dan pulang diberi sangu segepok duit. Jangan ditanya soal main politik. Jalil ini justru dedengkot politisi Jatim. Banyak politisi, dari parpol apapun di DPRD Jatim dan DPRD Surabaya yang kenal, akrab dan sering sowan ke Jalil. Mereka sering terlihat dinasehati untuk tidak terlalu rakus makan uang APBD dan menghambur-hamburkan uang untuk studi banding. Jalil tahu perilaku para politisi itu. Suatu ketika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Ir Soetjipto mengeluhkan ke Jalil, ihwal perilaku beberapa anggota DPRD dari PDIP yang bandel sering studi banding, sulit dinasehati DPP. Tanpa pikir panjang, Jalil pun membongkar kasus perselingkuhan sang politisi bandel itu di media massa. Seluruh tetangga kanan-kiri disamping rumah sang politisi dikirim edisi koran yang memuat skandal politisi itu secara gratis, spontan pada siang hari itu sang politisi menelepon Jalil, ingin ketemu. Saat bertemu di cafe Dome, sang politisi itu memohon ampun kepada Jalil. Dia menghiba-hiba agar Jalil tidak meneruskan serangan 'character assasination' itu. Jalil cuma menjawab singkat,''Jangan minta ampun ke saya, kamu tobat ke Tuhan, bukan ke saya,''. Bagi yang belum kenal dengan Jalil, sering sinis beranggapan, bahwa Jalil adalah preman, khususnya preman politik. Meski istilah preman itu sendiri sebenarnya masih layak diperdebatkan. Jalil jelas tidak bisa disamakan dengan para pengurus atau aktivis Pemuda Pancasila (PP), Pemuda Panca Marga (PPM) atau FKPPI. Justru sebaliknya, para aktivis ormas kepemudaan itu sangat hormat, tunduk dan patuh kepada Jalil. Pada tahun 2003, ketika Vedi Hadiz melakukan penelitian bertopik 'predatory capitalist' di tingkat lokal, saya membawa Vedi menemui Jalil dan Vedi mewawancarai Jalil sampai larut malam. Seakan tahu kesukaan Vedi, sebelum Vedi datang ke kantornya Jalil di Jl Makam Peneleh, Surabaya, Jalil sudah menyediakan sebotol champagne merah. Vedi pun agak terkejut, darimana Jalil tahu kebiasaannya meminum anggur itu. Tak lama berselang, diskusi pun berlangsung gayeng sembari sesekali meneguk secawan anggur. Jalil menjadi salah-satu narasumber bagi Vedi dan pada salah-satu tulisan Vedi yang terbit disebuah jurnal internasional, nama Jalil ikut termuat. Itulah sekelumit kisah 'Robin Hood' Surabaya. Ia kontroversial, sering dianggap preman meski anggapan itu sulit dibuktikan jika merujuk kepada apa dan bagaimana preman (free-man) itu. Jalil tidak pernah peduli dengan tudingan apapun kepada dirinya. Yang dia peduli adalah berpihak kepada mereka yang membutuhkan, tanpa kecuali. Ia akrab dengan para abang becak, para PKL, bercanda dengan pengamen-pengamen kecil, tapi dia juga bisa garang menghadapi politisi badung di Jatim dan Surabaya. Uniknya, acapkali saya menemukan dia ketika sendiri di ruang kerjanya yang semi-modern, menonton tayangan CNN atau BBC (meski ia tidak begitu paham bahasa Inggris), sembari ia membaca buku puisi Kahlil Gibran. Saya kadang tertawa ngakak, kalau sudah menemukan dia dalam keadaan begitu...(Surabaya Medio Februari 2009)

Senin, 09 Februari 2009

“Membangun Politik Lokal Yang Berbasis Kepentingan Publik ”

Surabaya merupakan salah satu daerah yang mengalami dinamika konstelasi politik lokal yang cukup signifikan sejak digelarnya Pemilu 1999 secara lebih demokratis. Para aktor politik Kota Surabaya mulai mengembangkan kebiasaan berpolitik baru yang berpangkal pada cara menghayati aspirasi masyarakat. Politik pembangunan lokal harus bisa menyerap sebaik mungkin aspirasi warga sekaligus transparan dalam menjalankan program-program pembangunan kota. Poitik lokal saat ini harus dibangun berdasarkan kepentingan dasar masyarakat yang ada. Politk harus merubah paradigma dari paradigma memimpin menjadi paradigma melayani masyarakat. Ini berarti bahwa politik lokal harus bisa menjadi sarana bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan guna melangsungkan hidupnya. Sebab melalui politik kebijakan-kebijakan publik bisa dirumuskan dan dilahirkan. Sehingga kebijakan-kebijakan publik tersebut bisa membawa manfaat bagi masyarakat. Relasi politik dan masyarakat lokal yang demikian ini seringkali tidak dipahami oleh masyarakat maupun aktor-aktor politik yang ada. Sebaliknya, yang umum terjadi adalah para aktor politik bersikap masa bodoh dengan kepentingan masyarakat, kalaupun ada perhatian acapkali kepentingan masyarakat tersebut disalah gunakan sebagai alat tawar menawar (bargaining) politik. Sedangkan masyarakat pun juga tidak mau ambil pusing dengan urusan politik,sebab mereka sudah muak dan jenuh dengan perilaku aktor politik yang cenderung pragmatis dan oportunis. Kondisi tersebut saat ini sudah harus diperbaiki,oleh karena itu ada 3 faktor penting yang harus dijadikan titik tekan utama dalam melakukan perbaikan sosial ini, yakni : 1. Pelaku Politik Yang Paham Kondisi Masyarakat Arus Bawah dan Bervisi Global Guna mengetahui kondisi riil dalam masyarakat,maka mutlak diperlukan pelaku politik yang berasal dari masyarakat bawah. Pelaku politik yang pernah mengalami kehidupan sebagai masyarakat bawah, merupakan aktor politik yang sempurna untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Di sisi lain peralihan era dunia yang berlangsung begitu cepatnya membutuhkan kesiapan aktor politik untuk menghadapi kebutuhan global. Ini diperlukan untuk membawa kepentingan masyarakat menghadapi kondisi global. 2. Potensi Politik Daerah Akibat percepatan desentralisasi tanpa kesiapan memadai telah mendorong terjadinya amnesia terhadap potensi daerah. Aktor politik lokal pun sempat larut dalam euforia perpolitikan daerah dan menganggap kepentingan masyarakat daerah hanyalah bagian kecil pembangunan daerah. Sehingga potensi politik daerah belum terarahkan sebagaimana mestinya 3. Revitalisasi Politik Lokal Desentralisasi (otonomi daerah), pada satu sisi bisa menjadi peluang, namun di sisi lain bisa menjadi ancaman bagi jati diri bangsa. Karena itu diperlukan pemetaan terhadap peluang dan ancaman terhadap politik lokal atas adanya fenomena desentralisasi ini. Ini diperlukan untuk mempersiapkan bangunan politik lokal yang bernafaskan desentralisasi dalam bingkai NKRI.oleh Bidot Suhariyadi,Ketua SPAN (Surabaya People Action Network)

Minggu, 18 Januari 2009

GERPOLEK (Gerilya-Politik-Ekonomi),Tan Malaka 1948

Sudah kepinggir kita terdesak! Sampailah konon sisa-ruangan yang tinggal bagi kita dalam hal politik, ekonomi, keuangan, dan kemiliteran. Inilah hasilnya lebih dari pada dua tahun berunding! Lenyaplah sudah persatuan Rakyat untuk menentang kapitalisme-imperialisme! Lepaslah sebagian besar daerah Indonesia ke bawah kekuasaan musuh. Kembalilah sebagian besar bangsa Indonesia ke bawah pemerasan-tindasan Belanda. Berdirilah pelbagai Negara boneka dalam daerah Indonesia, yang boleh diadu-dombakan satu dengan lainnya! Kacau-balaulah perekonomian dan keuangan dalam daerah Republik sisa. Akhirnya, tetapi tak kurang pula pentingnya terancamlah pula Tentara Republik oleh tindakan REORGANISASI DAN RATIONALISASI yang dalam hakekatnya menukar Tentara Republik menjadi tentara Kolonial: SATU TENTARA TERPISAH DARI RAKYAT UNUTK MENINDAS RAKYAT ITU SENDIRI. Alangkah besar perbedaannya keadaan sekarang dengan keadaan pada enam bulan permulaan Revolusi! Dikala itu 70 juta Rakyat Indonesia bertekat satu menentang kapitalisme/imperialisme! Segala alat dan sumber kekuasaan berada di tangan Rakyat Indonesia. Semua sumber ekonomi dipegang oleh Rakyat sendiri. Seluruhnya Rakyat serentak mengambil inisiatif membentuk laskar dan Tentara, mengadakan penjagaan di sepanjang pantai dan di tiap kota dan desa dan serentak-serempak mengadakan pembelaan dan penyerbuan! Dapatkah dikembalikan semangat 17 Agustus? Sejarah sajalah kelak yang bisa memberi jawab! Tetapi sementara putusan Sejarah itu dijalankan, maka kita sebagai manusia dan anggota masyarakat ini tak boleh diam berpangku tangan saja melihat gelombang memukul-mukul geladak Kapal Negara, yang sedang terancam karam itu. Saya rasa salah satunya Daya-Upaya untuk menyelamatkan Kapal Negara yang terancam karam itu, ialah pembentukan Laskar Gerilya dimana-mana, di darat dan di laut! Perasaan perlunya dibentuk laskar Gerilya dimana-mana itulah yang sangat mendorong saya, merisalah “SANG GERILYA” ini! Malangnya sedikit, penulis ini bukanlah seorang Ahli-Kemiliteran. cuma ada sedikit banyak bergaul dengan prajurit di dalam ataupun di luar negeri dan memangnya selalu tertarik oleh ilmu kemiliteran. Pengetahuan yang dipakai buat membentuk risalah ini adalah pengetahuan yang diperoleh dari percakapan dengan para prajurit itu serta dari pembacaan Buku dan Majalah Kemiliteran. Tetapi bukanlah hasil pembacaan yang masih segar-bugar. Melainkan sebagian besarnya adalah hasil pembacaan lebih dari pada 30 tahun lampau. Tertumbuklah kemauan penulis ini hendak menjadi opsir di masa berusia pemuda di Eropa, pada pelbagai halangan dan rintangan maka terbeloklah perhatian kepada pembacaan beberapa Buku dan Majalah Militer, dalam suasana Perang-Dunia Pertama. Pengetahuan yang diperoleh di masa itulah yang masih dipegang sekarang! Pengetahuan itu memangnya mendapat beberapa perubahan selama bertahun-tahun di luar Negeri. Tetapi tinggal pengetahuan lama dan keadaan berada di antara empat tembok batu di belakang ruji-besi ini sama sekali tak ada pustaka kemiliteran, untuk menguji kembali pengetahuan yang dipergunakan dalam Risalah ini sebagai bahan. Dalam keadaan begini, maka mungkin sekali beberapa Hukum Keprajuritan, yang terpaksa dibentuk sendiri itu kurang tepat atau kurang memadai. Tetapi mengharap dan percaya sungguh, bahwa para Ahli dan Pahlawan akan mengambil yang baiknya saja dan akan membuang yang buruk; seterusnya akan menambah yang kurang dan mengurangi yang berlebih. Kami mengharap dan percaya pula, bahwa para Ahli dan Pahlawan akan memaafkan semua kekurangan dan kesalahan kami. Pokok perkara buat kami dalam keadaan terpaksa terpisah dari Masyarakat ini, bukanlah terutama MENYELESAIKAN soal Militer, sebagai bagian terpenting dari Revolusi ini, tetapi untuk MEMAJUKAN soal ini. Mudah-mudahan para-teman-seperjuangan yang lebih ahli dan lebih berpengalaman dalam keprajuritan itu, kelak akan mengambil inisiatif mengarang buku kemiliteran itu, yang lebih sempurna. Buku semacam itu perlu sekali buat mempopulerkan ilmu-keprajuritan di antara Rakyat serta Pemuda kita justru sekarang ini! Perkara latihan dan teknik Perang sengaja tiada kami majukan disini! Dalam hal ini latihan-Jepang selama dua-tiga tahun dan teristimewa pula latihan dan teknik perang selama dua-tiga tahun bertempur di medan peperangan Indonesia yang sesungguhnya itu, kami rasa sudah lebih dari pada memadai, dan diketahui oleh pulu ribuan prajurit kita sekarang. Yang kami majukan disini cuma beberapa Hukum-Kemiliteran yang kami rasa amat penting! Hukum Kemiliteran itulah, disamping pengetahuan yang lain-lain tentang politik dan ekonomi yang kami rasa harus dimiliki oleh SANG GERILYA, sebagai anggota atau pemimpin Laskarnya. Taktik Gerilya yang mengacau-balaukan Tentara Napoleon di Spanyol pada abad yang lalu; taktik Gerilya sekepal Laskar-Boor yang mengocar-kacirkan Tentara Inggris yang kuat-modern pada permulaan abad ini di Afrika-Selatan, taktik Gerilya yang memusing-menggila-bingungkan Tentara ber-mesinnya Fasis Jerman di Rusia pada perang Dunia kedua yang baru lalu ini ……………. Taktik dan Laskar Gerilya adalah senjata yang maha-tajam bagi Rakyat Miskin tertindas; bersenjata serba sederhana saja, untuk menghalaukan musuh yang bersenjatakan modern. Mudah-mudahan Risalah, yang tertulis tergesa-gesa dalam keadaan serba sulit ini akan memberikan faedah kepada pemuda/pemudi, pahlawan-perwira pembela bangsa dan Masyarakat-Murba Indonesia Raya! Rumah Penjara Madiun, 17 Mei 1948 Penulis T A N M A L A K A

Sang Revolusioner Indonesia, Tan Malaka.

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – wafat di Jawa Timur, 21 Februari 1949 dalam umur 51 tahun) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris. Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963. Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat. Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh "sekelompok orang tak dikenal" di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda. Riwayat: Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda. Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda. Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai. Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang. Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda. Perjuangan: Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya. Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar. Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh. Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”. Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI. Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun. Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925. Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…." Madilog: Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia. Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya. Pahlawan: Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu. Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. Tan Malaka dalam fiksi: Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional. Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis. Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat). Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera. Beberapa judul kisah Patjar Merah: Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938) Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938) Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940) Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940) Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940) Buku Dari Pendjara ke Pendjara: Menuju Republik Indonesia Dari Pendjara ke Pendjara, autobiografi Madilog Gerpolek (WikiPedia.com)

Jumat, 16 Januari 2009

Pembunuh Tan Malaka mantan Walikota Surabaya.

Selama 20 tahun sejarawan Belanda Harry Poeze mencari makam Tan Malaka. Pembunuh Tan Malaka mantan wali kota Surabaya. Pemakaman itu terletak di atas bukit. Batu besar tinggi menjulang, lebih tinggi dari pohon kelapa, melintang di tengah bukit. Batu inilah yang menginspirasi para pembabat dusun untuk memberi nama kampungnya Selopanggung. "Selo" dalam bahasa Jawa berarti "batu", sedangkan "panggung" bermakna "berdiri" atau "tempat pentas". Jadi, Selopanggung bisa diartikan sebagai batu yang berdiri tegak. Dusun ini terletak di Kecamatan Semen, berjarak sekitar 20 kilometer sebelah Barat kota Kediri. Untuk menuju dusun ini orang harus melewati jalan menurun yang curam. Jika lewat selintas di jalan utama, kita tak menduga bahwa di bawah jalan curam tersebut terdapat dusun yang cukup besar. Nah, makam Mbah Selo, perintis dusun Selo, masih harus dicapai dengan menyusuri sungai kecil berbatu, kemudian turun ke sungai besar, naik ke bukit, sampai ke batu jangkung itu, lalu belok kiri dan seratus langkah kemudian baru tiba di makam. Ada dua pohon kamboja di makam itu. Pertama sudah sangat tua, lebih dari seratus tahun. Satunya lagi lebih muda. "Di bawah pohon kamboja tua inilah Mbah Selo dimakamkan. Sedangkan yang di bawah pohon kamboja yang agak muda itu, terdapat makam tawanan yang dibunuh tentara dan buku-bukunya dibakar," kata Mbah Tolu, 68 tahun, kepada Tempo. Ke dusun ini pula sejarawan Belanda Harry Poeze, 60 tahun, dua kali datang. Pertama, pada awal 1990-an dan kedua, dua tahun lalu. Direktur KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) ini telah 20 tahun mencari makam Tan Malaka. Baru di dusun itulah ia yakin bahwa "tawanan yang dibunuh tentara" seperti disebutkan Mbah Tolu itu adalah Tan Malaka. Mbah Tolu ingat, saat itu ia berumur 10 tahun, ada serombongan tentara yang dipimpin Letnan Dua Soekotjo memasuki kampungnya. Bersama rombongan pasukan itu terlihat seorang laki-laki yang kata Tolu, "tangannya ditali, seperti tawanan. Mungkin itu yang bernama Tan Malaka." Poeze mengatakan, penulis Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika, kitab yang menghubungkan cara berpikir ilmu pengetahuan dengan kebudayaan Indonesia dan gerakan revolusi, itu ditangkap dan ditembak mati di Selopanggung pada 21 Februari 1949. "Dia ditembak atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya," ucap Poeze. "Soekotjo terakhir berpangkat brigadir jenderal dan pernah menjadi Wali Kota Surabaya." Temuan Poeze ini menggugurkan cerita bertahun-tahun yang menyebutkan Tan Malaka mati ditembak di tepi sungai Brantas di wilayah Kediri. Tesis ini juga merevisi dugaan bahwa pasukan Partai Komunis Indonesia berada di belakang pembunuhan itu. Sayuti Melik, pengetik teks proklamasi, misalnya, dalam buku Sukarni dalam Kenangan Teman-temannya, menyebutkan bahwa pasukan Pesindo (PKI) membunuh Tan Malaka lantaran tak menginginkan Tan Malaka yang telah mendapat testamen dari Bung Karno menjadi presiden. Soekarno pada awal September 1945 memang mengeluarkan testamen yang menyebutkan "bila saya dan Hatta terhalang memimpin revolusi, saudara Tan Malaka melanjutkan memimpin revolusi." Cerita kematian Tan Malaka itu mengisi salah satu bagian dari buku setebal 2.200 halaman yang telah ia luncurkan akhir Juli lalu. Buku berbahasa Belanda itu berjudul Vurguisden Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en Indonesische Revolution 1945-1949 (Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949). Terjemahan Indonesia buku tersebut paling cepat baru akan diluncurkan Desember nanti. Kepada Tempo, Poeze yang telah 36 tahun meneliti Tan Malaka itu bercerita tentang periode akhir hidup tokoh yang disebut Muhammad Yamin sebagai "Bapak Republik Indonesia" ini. Berikut petikan wawancaranya: Bagaimana Anda sampai pada kesimpulan bahwa Tan Malaka dibunuh di Selopanggung dan bukannya di tepi kali Brantas? Saya memeriksa satu persatu berbagai versi kematian Tan Malaka. Seluruhnya ada delapan versi. Ada yang menyebut bahwa Tan Malaka mati di tepi sungai Brantas. Ini versi yang terbanyak disebut. Ada pula versi yang ditulis seseorang pada 1980-an yang mengaku sebagai penembak Tan Malaka. Saya ketemu dia dan saya tanya seperti apa Tan Malaka yang dia tembak mati. Saya tahu persis dia salah. Nah, kemudian ada keterangan dari seorang tentara yang menyebut bahwa salah seorang hakim mahkamah militer luar biasa adalah pelaku penembakan itu. Dia tak menyebutkan namanya, karena dia takut. Maklum saat itu zaman Orde Baru. Saya cari seluruh daftar nama hakim dan satu per satu saya telusuri riwayat mereka. Saya tahu Tan Malaka pernah membangun markas gerilya di Kediri. Saya cari siapa hakim yang pernah bertugas di wilayah Kediri. Ketemu. Orang itu bernama Hendrotomo. Tapi saat itu saya belum sempat wawancara dia. Hendrotomo keburu meninggal. Sesudah meninggal, tentara yang ketakutan itu baru mengaku terus terang bahwa orang yang dia maksud adalah Hendrotomo. Ini benar-benar sejarah yang rumit, dan saya menelitinya persis seperti pekerjaan detektif. Lalu bagaimana Anda menguji kebenaran informasi itu? Anggota TNI ini menyebut pada 1949 itu Hendrotomo merupakan anggota Batalyon Sikatan pimpinan Soerahmat. Saya segera menghubungi Soerahmat yang pada 1980-an itu masih hidup. Tapi Soerahmat tak banyak menjawab. Ia cuma menyebut lupa. Daerah-daerah yang dikuasai batalyon ini di Kediri saya datangi. Saya keluar masuk desa, tanya ke lurah-lurah dan orang-orang tua yang mengenal seluk beluk batalyon ini. Sampai di sini belum ketemu Dusun Selopanggung dan nama Letda Soekotjo. Lalu dari beberapa orang partai Murba (partai yang didirikan Tan Malaka), saya mendapat beberapa nama orang yang menjadi pengawal Tan Malaka saat lari dari markasnya di Desa Belimbing karena serbuan TNI dari divisi Brawijaya, dan pada saat yang sama Belanda masuk ke Kediri pada agresi II. Pengawal Tan Malaka yang saya wawancarai itu bernama Jakfar dan Soekatma. Mereka ikut mengawal Tan Malaka hingga dekat Selopanggung, sebelum akhirnya melarikan diri dan meninggalkan Tan Malaka sendirian. Kaki Tan Malaka saat itu terluka sehingga tak bisa lari. Berikutnya, dari seorang bekas tentara teritorial yang tahu persis daerahnya menyebut bahwa Tan Malaka ditahan Soekotjo dan ditembak mati di Selopanggung. TNI waktu itu punya dua bagian: fungsional dan teritorial. TNI fungsional diberi tunjangan yang baik. Tentara teritorial yang berpangkat sangat rendah tak bersimpati pada TNI fungsional karena mereka tak diberi amunisi. Sumber saya ini tampaknya tak menyukai kiprah Soekotjo. Ia pun dengan mudah menceritakan penangkapan Tan Malaka. Cerita ini mirip dengan semua informasi yang terdapat dari berbagai sumber. Inilah gambar yang benar dari pelbagai versi kejadian. Jadi yang siapa yang menembak: Soekotjo atau Hendrotomo? Hendrotomo itu atasan Soekotjo. Dialah yang mempertanggungjawabkan tindakan Soekotjo pada atasannya, Soerahmat. Buku biografi Soerahmat yang diterbitkan anaknya, Suyudi Soerahmat, pada 2000, menuliskan dengan jelas, ada sebuah laporan dari bawahan Soerahmat bernama Hendrotomo. Di situ disebutkan Soerahmat bertanya pada Hendrotomo: bagaimana dengan Tan Malaka? Hendrotomo bilang, "sudah dibereskan dan dikuburkan". Ada proses? Hendrotomo bilang "ada proses". Proses yang dimaksud di sini adalah pengadilan militer yang dilakukan oleh Soekotjo. Tentu saja ini pengadilan main-main. Anda bertemu Soekotjo? Tidak. Dia sudah meninggal pada 1980-an. Dia pernah menjadi Wali Kota Surabaya dan berpangkat terakhir Brigadir Jenderal. Saya hanya bertemu dengan istri Soekotjo. Saya tanya pada dia, apakah tahu hubungan antara Soekotjo dan Tan Malaka? Dia tidak tahu. Ini bisa dimengerti karena perkawinan keduanya terjadi jauh sesudah penembakan. Soekotjo tidak bercerita pada istrinya. Nah, buku ini mengungkap peran Soekotjo. Saya berharap istri dan keluarga Soekotjo tidak marah ketika saya tulis Soekotjo adalah pembunuh Tan Malaka. Ini kenyataan sejarah. Soekotjo menembak atas inisiatif sendiri atau atas perintah atasannya? Menurut saya, itu atas inisiatif sendiri, bukan karena perintah Hendrotomo atau atasannya lagi. Dua orang ini, Soekotjo dan Hendrotomo, adalah orang kanan dan sangat membenci semua orang kiri. Sewaktu pemberontakan Madiun mereka sangat membenci orang kiri. Hendrotomo dan Soekotjo tak bisa membedakan orang kiri dan orang radikal kiri. Soekotjo tahu bahwa orang yang dia tahan adalah Tan Malaka, orang kiri yang berbahaya. Dengan regu yang kecil, pasukan Soekotjo waswas. Kalau tidak ditembak, maka mereka yang akan ditembak bila bertemu dengan orang-orang Tan Malaka. Maka regu Soekotjo ini pun memutuskan sendiri. Hanya saja, pembunuhan itu mungkin tak akan terjadi jika tak ada perintah Soengkono, panglima divisi Brawijaya di Jawa Timur yang mengirimkan radiogram ke daerah-daerah bahwa aktivitas gerakan Tan Malaka berbahaya dan harus dihentikan. Ini kata-kata yang abstrak. Bisa ditafsirkan macam-macam. Perintahnya yang jelas adalah agar markas Tan Malaka di desa Belimbing, Kediri, harus diduduki dan batalyon Sabarudin yang melindungi Tan Malaka dibubarkan. Dalam perintah itu juga disebut mereka harus ditahan dan jika ada perlawanan bisa dipakai hukum militer. Mungkin Soekotjo menafsirkan perintah "hukum militer" sebagai tembak mati. Saat itu pimpinan TNI tahu persis penangkapan Tan Malaka oleh Soekotjo? Tidak. Komunikasi sangat terbatas. Hanya ada satu kurir antara kompi satu dengan kompi lain. Tidak ada radio. Makan waktu beberapa hari untuk pergi. Dalam waktu yang terbatas itu, Soekotjo beraksi sendiri, tanpa konfirmasi dari atasannya. Bagaimana ceritanya Tan Malaka ditangkap di Selopanggung, sementara di Belimbing sebetulnya dia sudah terkepung? Pada mulanya, divisi Brawijaya mengepung markas Belimbing. Tapi ketika tengah mengepung itulah datang serangan dari Belanda. Pasukan pengepung dan 50 pengawal Tan Malaka, termasuk anggota batalyon Sabarudin, lari tunggang langgang. Rombongan Tan Malaka terpecah empat. Tan Malaka dikawal enam orang. Mereka bergerak sekitar 60 kilometer ke arah Selatan mencari kesatuan yang bersimpati pada Tan Malaka. Tapi mereka harus melewati satu daerah yang dikuasai oleh pasukan yang membenci orang-orang kiri. Inilah kesatuan batalyon Sikatan. Di Selopanggung mereka bertemu regu Soekotjo. Enam pengawal Tan Malaka lari. Empat ke arah Sungai Brantas, dua lagi ke arah Selatan dan selamat. Tiga dari empat orang yang ke sungai Brantas ditembak mati. Seorang lagi melompat ke kali, berenang, dan selamat. Orang yang selamat inilah yang menjadi sumber saya. Kisah penembakan di tepi sungai Brantas itu kemudian dipercaya sebagai kisah kematian Tan Malaka. Padahal salah. Mengapa TNI menilai Tan Malaka dan Sabarudin berbahaya? Tan Malaka ke Belimbing untuk bergerilya. Saya bertemu sekitar 10 orang yang masih ingat kehadiran Tan Malaka di Belimbing. Di desa ini, Tan Malaka banyak menulis pamflet yang ia beri nama Dari Markas Murba Terpendam. Dia bikin pamflet yang mengecam Soekarno-Hatta yang bersedia ditahan begitu saja oleh Belanda dalam agresi II pada Desember 1948. Tan Malaka menilai keduanya mengkhianati republik karena tidak memutuskan bergerilya melawan Belanda. Dalam kondisi RI tanpa presiden dan wakil presiden itulah Tan Malaka menggunakan testamen dari Bung Karno. Dia mengajak rakyat perang gerilya melawan Belanda sebagaimana dilakukan Soedirman. Dari markas itu pula, Tan Malaka mengkritik divisi Brawijaya yang pengecut dan tak peduli pada kepentingan rakyat. Kritik ini tak disukai Soengkono yang kemudian mengeluarkan perintah penangkapan Tan Malaka. Kenapa Tan Malaka memilih ikut Sabarudin ke Kediri? Ini juga teka-teki untuk saya. Sesudah ditahan di 15 tempat selama dua tahun sejak Juli 1946, Tan Malaka dibebaskan, tanpa diberi amnesti oleh Soekarno. Saat itu Tan Malaka ditahan karena mengecam politik Soekarno yang tak revolusioner. Tapi ketika dibebaskan, Tan Malaka kemudian dipakai oleh Soekarno untuk menghadang politik PKI. Waktu itu dari Moskow, Muso dikirim untuk mendirikan Republik Indonesia-Sovyet. Tan Malaka dibebaskan untuk mendirikan salah satu alternatif kiri untuk melawan Muso. Lalu terjadi pemberontakan PKI Madiun pada akhir September 1948. Soekarno menumpas Muso. Pada 7 November 1948 pun Tan Malaka mendirikan partai Murba. Dia bukan ketua, tapi duduk di dewan partai. Sesudah terbentuk, kemudian ia memutuskan berkeliling daerah. Kebetulan waktu itu ada undangan dari batalyon Sabarudin untuk pergi ke Jawa Timur. Sabarudin menjamin keamanan Tan Malaka. Dia naik kereta api khusus dengan 50 pengawal dari Yogyakarta ke Kediri. Tan Malaka pergi ke sana antara November-Desember 1948, dan sibuk mendirikan organisasi pertahanan rakyat, dengan fokus kerja sama antara rakyat biasa dan kesatuan militer. Ini adalah perwujudan dari ide Tan Malaka dalam bukunya, Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi). Dalam buku itu disebut perlunya dibentuk pertahanan rakyat. Tapi gagasan itu baru dalam tahap awal, Belanda keburu datang. Saya juga bertanya kenapa ikut Sabarudin? Padahal Sabarudin dikenal sebagai seorang aneh, gila, dan bahkan psikopat. Dia sebetulnya orang pintar, ikut sekolah Belanda, tapi otaknya terganggu. Dia tentara yang sangat mengagumi Tan Malaka. Tapi perilakunya aneh. Setiap ada tawanan, dia ingin menembak mati. Dia juga disebut senang minum darah musuh. Tindakan Sabarudin yang keterlaluan itu sebetulnya yang menyebabkan Soengkono membubarkan batalyon Sabarudin. Sebagai bagian dari divisi Soengkono, Sabarudin lebih memilih jalan sendiri. Aneh sekali, Tan Malaka yang intelektual dan mengerti betul gerakan revolusi ikut seorang psikopat. Ini kesalahan besar. Sabarudin mati dalam pengejaran divisi Soengkono? Tidak. Dia berhasil lolos. Dia sangat marah mendengar kematian Tan Malaka. Kembali menyusun batalyon, dia kemudian menghabisi anggota batalyon yang membantu Soerahmat. Giliran Soerahmat marah besar. Sabarudin ditangkap di Surabaya dan diputuskan diadili di Madiun. Di tengah jalan, atas perintah Soerahmat, dia ditembak mati pada November 1949. Setelah makam ketemu apa rencana berikutnya? Saya sudah menyerahkan kepada Departemen Sosial untuk menelusuri di sebelah mana sebenarnya makam Tan Malaka di Selopanggung. Makam harus dibongkar dan diuji DNA. Keluarga Tan Malaka sudah bersedia diambil sampel darahnya. Semua terserah pemerintah Indonesia, apa mau memindahkan makam itu atau tetap mempertahankannya di sana.(YOS RIZAL SR | DWIJO MAKSUM Koran Tempo.)

Kamis, 15 Januari 2009

Tan Malaka 1922 (edisi bahasa Inggris)

This is a speech made by the Indonesian Marxist Tan Malaka at the Fourth Congress of the Communist International in November 12, 1922. Taking issue with the theses drafted by Lenin and adopted at the Second Congress, which had emphasised the need for a "struggle against Pan-Islamism", Tan Malaka argued for a more positive approach. Tan Malaka (1897-1949) was elected chairman of the Communist Party of Indonesia in 1921, but the following year he was forced to leave the East Indies by the colonial authorities. After the proclamation of independence in August 1945, he returned to Indonesia to participate in the struggle against Dutch colonialism. He became a leader of the Partai Murba (Proletarian Party), formed in 1948 to organise working class opposition to the Soekarno government. In February 1949 Tan Malaka was captured by the Indonesian army and executed. Comrades! After hearing the speeches made by General Zinoviev, General Radek and other European comrades, and having regard to the importance, for us in the East as well, of the question of the united front, I think that I have to speak up, in the name of the Communist Party of Java, for the thousands of millions of the oppressed peoples of the East. I have to put a few questions to the two generals. Perhaps General Zinoviev was not thinking about a united front on Java; perhaps our united front is something different. But the decision of the Second Congress of the Communist International means in practice that we have got to form a united front with revolutionary nationalism. Given, as we must recognise, that forming a united front is necessary in our country too, our united front cannot be with Social Democrats but has to be with revolutionary nationalists. But tactics used by the nationalists against imperialism very often differ from ours; take, for instance, the boycott and the Muslim liberation struggle, Pan-Islamism. These are the two forms which I am particularly considering, so I ask the following questions. First, are we to support the national boycott movement or not? Second, are we to support Pan-Islamism, yes or no? If yes, how far are we to go? The boycott, I must admit, is certainly not a Communist method, but it is one of the sharpest weapons available in the situation of politico-military subjugation in the East. Within the last two years we have seen the success of the Egyptian people's 1919 boycott against British imperialism, and again of the great Chinese boycott at the end of 1919 and the beginning of 1920. The most recent boycott movement has been in British India. We can take it that in the next few years other forms of boycott will be employed in the East. We know that it is not our method; it is a petty bourgeois method, something that belongs to the nationalist bourgeoisie. We can say more; that the boycott means support for home-grown capitalism; but we have also seen that following on the boycott movement in British India, there are now eighteen hundred leaders languishing in jail, that the boycott has generated a very revolutionary atmosphere, indeed that the boycott movement actually forced the British government to ask Japan for military assistance, in case it should develop into an armed uprising. We also know that the Mahommedan leaders in India - Dr. Kirchief, Hasret Mahoni and the Ali brothers - are in reality nationalists; we had no rising to record when Gandhi was arrested. But people in India know very well what every revolutionary there knows: that a local rising can only end in defeat, because we have no weapons or other military material there, hence the question of the boycott movement will, now or in the future, become a pressing one for us Communists. Both in India and in Java we are aware that many Communists are inclined to proclaim a boycott movement on Java, perhaps because Communist ideas emanating from Russia have been so long forgotten, or perhaps because there was such an unleashing of Communist feeling in British India as could challenge the whole movement. In any case we are faced with the question: Are we to support this tactic, yes or no? And how far can we go? Pan-Islamism is a long story. First of all I will speak about our experiences in the East Indies where we have cooperated with the Islamists. We have in Java a very large organisation with many very poor peasants, the Sarekat Islam (Islamic League). Between 1912 and 1916 this organisation had one million members, perhaps as many as three or four million. It was a very large popular movement, which arose spontaneously and was very revolutionary. Until 1921 we collaborated with it. Our party, consisting of 13,000 members, went into this popular movement and carried out propaganda there. In 1921 we succeeded in getting Sarekat Islam to adopt our programme. The Islamic League too agitated in the villages for control of the factories and for the slogan: All power to the poor peasants, all power to the proletarians! So Sarekat Islam made the same propaganda as our Communist Party, only sometimes under another name. But in 1921 a split occurred as a result of clumsy criticism of the leadership of Sarekat Islam. The government through its agents in Sarekat Islam exploited this split, and it also exploited the decision of the Second Congress of the Communist International: Struggle against Pan-Islamism! What did they say to the simple peasants? They said: See, the Communists not only want to split, they want to destroy your religion! That was too much for a simple Muslim peasant. The peasant thought to himself: I have lost everything in this world, must I lose my heaven as well? That won’t do! This was how the simple Muslims thought. The propagandists among the government agents exploited this very successfully. So we had a split. [Chairman: Your time is up.] I have come from the East Indies, and travelled for forty days. [Applause.] The Sarekat-Islamists believe in our propaganda and remain with us in their stomachs, to use a popular expression, but in their hearts they remain with the Sarekat Islam, with their heaven. For heaven is something we cannot give them. Therefore, they boycotted our meetings and we could not carry on propaganda any more. Since the beginning of last year we have worked towards re-establishing the link with Sarekat Islam. At our congress in December last year we said that the Muslims in the Caucasus and other countries, who cooperate with the Soviets and struggle against international capitalism, understand their religion better, and we also said that, if they want to make propaganda for their religion, they can do so, though they should not do it in meetings but in the mosques. We have been asked at public meetings: Are you Muslims – yes or no? Do you believe in God – yes or no? How did we answer this? Yes, I said, when I stand before God I am a Muslim, but when I stand before men I am not a Muslim [loud applause], because God said there are many devils among men! [Loud applause.] Thus we inflicted a defeat on their leaders with the Qur’an in our hands, and at our congress last year we compelled the leaders of the Sarekat Islam, through their own members, to cooperate with us. When a general strike broke out in March last year, the Muslim workers needed us, as we have the railwaymen under our leadership. The Sarekat Islam leaders said: You want to cooperate with us, so you must help us, too. Of course we went to them, and said: Yes, your God is powerful, but he has said that on this earth the railwaymen are more powerful! [Loud applause.] The railwaymen are God’s executive committee in this world. [Laughter.] But this does not settle the question, and if we have another split we may be sure that the government agents will be there again with their Pan-Islamism. So the question of Pan-Islamism is a very immediate one. But now one must first understand what the word Pan-Islamism really means. Once, it had a historical significance and meant that Islam must conquer the whole world, sword in hand, and that this must take place under the leadership of the Caliph, and the Caliph must be of Arabian origin. About 400 years after the death of Mohammed the Muslims split into three great states and thus the Holy War lost its significance for the entire Muslim world. It thus lost the meaning that, in the name of God, the Caliph and the Muslim religion should conquer the whole world, because the Caliph of Spain said, I am the true Caliph, I must carry the banner, and the Caliph of Egypt said the same, and the Caliph of Baghdad said, I am the real Caliph, since I am from the Arabian tribe of Quraish. So Pan-Islamism no longer has its original meaning, but now has in practice an entirely different meaning. Today, Pan-Islamism signifies the national liberation struggle, because for the Muslims Islam is everything: not only religion, but also the state, the economy, food, and everything else. And so Pan-Islamism now means the brotherhood of all Muslim peoples, and the liberation struggle not only of the Arab but also of the Indian, the Javanese and all the oppressed Muslim peoples. This brotherhood means the practical liberation struggle not only against Dutch but also against English, French and Italian capitalism, therefore against world capitalism as a whole. That is what Pan-Islamism now means in Indonesia among the oppressed colonial peoples, according to their secret propaganda – the liberation struggle against the different imperialist powers of the world. This is a new task for us. Just as we want to support the national struggle, we also want to support the liberation struggle of the very combative, very active 250 million Muslims living under the imperialist powers. Therefore I ask once again: Should we support Pan-Islamism, in this sense? So I end my speech. (Lively applause).source : http://www.marxists.org/archive/malaka/1922-Panislamism.htm

Selasa, 06 Januari 2009

Robert De Niro

Robert De Niro, who is thought of as one of the greatest actors of his time, was born in New York City in 1943 to two artists. He was trained at the Stella Adler Conservatory and the American Workshop. He first gained fame for his role in Bang the Drum Slowly (1973), but he gained his reputation as a volatile actor in Mean Streets (1973), which was his first film with director Martin Scorsese. In 1974 De Niro received an Academy Award for best supporting actor for his role in The Godfather: Part II (1974) and received Academy Award nomations for best actor in Taxi Driver (1976), The Deer Hunter (1978), and Cape Fear (1991). He won the best actor award in 1980 for Raging Bull (1980). De Niro currently heads his own production company, Tribeca Film Center, and made his directorial debut in 1993 with A Bronx Tale (1993). De Niro with his wife Grace Hightower at the 2008 Tribeca Film Festival.Since 1989, De Niro has been investing in the TriBeCa neighborhood in lower Manhattan. His capital ventures have included cofounding the film studio TriBeCa Productions; the popular TriBeCa Film Festival; Nobu (the now-defunct Layla restaurants that usually needed advance reservations) and TriBeCa Grill, which he co-owns with Paul Wallace and Broadway producer Stewart F. Lane. and finally The Greenwich Hotel. In 1997, De Niro married his second wife, Grace Hightower (a former flight attendant), at their estate near Marbletown in upstate New York (De Niro also has residences on the east and west sides of Manhattan). Their son Elliot was born in 1998, and the couple filed for divorce shortly after his birth, although the action was never officially finalized as they smoothed over their differences. In addition to Elliot, De Niro has a son, Raphael, with first wife Diahnne Abbott. He also adopted Abbott's daughter (from a previous relationship), Drena. In addition, he has twin sons, Julian Henry and Aaron Kendrick (conceived by in vitro fertilization and delivered by a surrogate mother), from a long-term live-in relationship with former model Toukie Smith. Raphael, a former actor, now works in New York real estate. De Niro lives in New York City and has never lived full time in Los Angeles. In February 1998, during a film shoot in France, he was taken in for questioning by French police for nine hours and was then questioned by a magistrate over a prostitution ring. De Niro denied any involvement, saying that he had never paid for sex, "...and even if I had, it wouldn't have been a crime." The magistrate wanted to speak to him after his name was mentioned by one of the call girls. In an interview with the French newspaper Le Monde, he said, "I will never return to France. I will advise my friends against going to France," and he would "send your Legion of Honour back to the ambassador, as soon as possible." French judicial sources say that the actor is regarded as a potential witness, not a suspect. In 2003, De Niro was diagnosed with prostate cancer. The prognosis for De Niro (who was 60 at the time) was good, according to his publicist, Stan Rosenfield. "Doctors say the condition was detected at an early stage because of regular checkups," Rosenfield says. "Because of the early detection and his excellent physical condition, doctors project a full recovery." Rosenfield declined to give further details about the actor's condition or course of treatment. De Niro's father, painter Robert De Niro, Sr. died of cancer in 1993 at age 71. He also left behind his two god children, Lauren and Nicholas Martino. After the death of his father De Niro took the responsibility of being the "unofficial godfather". De Niro was due to be bestowed with honorary Italian citizenship at the Venice Film Festival in September 2004. However, the Sons of Italy lodged a protest with Italian Prime Minister Silvio Berlusconi, claiming De Niro had damaged the image of Italians and Italian-Americans by frequently portraying them in criminal roles. Culture Minister Giuliano Urbani dismissed the objections, and the ceremony was rescheduled to go forward in Rome in October. Controversy flared again when De Niro failed to show for two media appearances in Italy that month, which De Niro blamed on "serious communication problems" that weren't "handled properly" on his end, stating, "The last thing I would want to do is offend anyone. I love Italy." The citizenship was conferred on De Niro on October 21, 2006, during the finale of the Rome Film Festival. De Niro is a supporter of the Democratic Party, and vocally supported Al Gore in the 2000 presidential election. Filmmaker Michael Moore's documentary Fahrenheit 9/11 includes a clip of De Niro standing next to Gore at a rally; Moore identifies him as "that Taxi Driver guy." De Niro publicly supported John Kerry in the 2004 presidential election. In 1998, he lobbied Congress against impeaching President Bill Clinton. De Niro also narrated 9/11, a documentary about the September 11, 2001 attacks, shown on CBS and centering on video footage made by Jules and Gedeon Naudet that focused on the role of firefighters following the attacks. While promoting his movie The Good Shepherd with costar Matt Damon on the December 8, 2006 episode of Hardball with Chris Matthews at George Mason University, De Niro was asked whom he would like to see as President of the United States. De Niro responded, "Well, I think of two people: Hillary Clinton and Obama." On February 4, 2008, De Niro supported Obama at a rally at the Izod Center in New Jersey before Super Tuesday. (Writen By: Matt Dicker)

Al Pacino

Al Pacino was born on April 25, 1940 in the Bronx, New York. His parents, Salvatore and Rose Pacino, divorced when he was very young. Al moved with his mother to his grandparents' house, where he spent the rest of his childhood. When he was young, Al often mimicked the actors he saw in movies, practicing different voices and emotions. Although he did not particularly enjoy classes during school, he found fulfillment in school plays. After dropping out of school, Al chose to pursue a career in acting, finding small roles on stage productions. During his early period of acting, Al did not make very much money and was forced to live in poverty. He also suffered depression and was very frustrated by the lack of openings in the city for actors. His first break came in 1966, when he was accepted into the Actors Studio and allowed to study the method acting advocated by Lee Strasberg. Pacino started getting some bigger roles and won an Obie award for his performance in "The Indian Wants the Bronx". Another performance soon after in "Does the Tiger Wear a Necktie?" earned him a prestigious Tony Award. His acting was becoming more known and he was drafted by film directors to join the cast of "Me, Natalie" in 1969 and "The Panic in Needle Park" in 1971. Around this time, casting was being conducted for the film version of Mario Puzo's epic novel, "The Godfather". Al managed to get into the auditions and made a large impression on Francis Ford Coppola, the director. However, the feeling wasn't mutual and virtually everyone else involved in the project demanded that a more prominent actor fill the role instead of "that midget Pacino". However, Francis vehemently defended Pacino and was eventually allowed to film with him playing the important role of Michael Corleone. Under intense negative pressure by the studio heads, Francis filmed quickly, fearing that he would be fired in favor of a different director. Al remembers the set of the film as very tense and he was nervous throughout the production. When the film was released, it was a major hit and everyone loved Pacino's amazing performance. Even the Academy's attention was gained and he was nominated for an Academy Award for best supporting actor. Pacino went from being a nobody to international star virtually overnight. Although he could have settled for easy acting roles, Pacino went on to choose some of the most difficult roles in film history. In 1973, he starred in the film "Serpico" as a police officer intent on curing the corruption in the New York Police Department. In 1975, he played the role of Sonny in "Dog Day Afternoon", a tale of a bank robbery gone horribly wrong. In 1977, he starred in "Bobby Deerfield", which didn't do very well, but regained his momentum in 1979's "And Justice for All", giving an amazing performance as a caring lawyer. His performance earned him another nomination for best actor and showed his versatility as an actor. In 1980's "Cruising" and 1982's "Author! Author!", Al's career faltered slightly. Both films did poorly at the box office and were met with poor reviews by critics. However, he recovered yet again with "Scarface" in 1983, which ended up being an epic tale of crime, popular for years to come. In 1985, he starred in "Revolution", which suffered from a very bad production and ended up being a horrendous flop. He retreated from the film industry for a few years, returning with his directorial debut in 1989's "The Local Stigmatic", which was never released. That same year he starred in the erotic thriller "Sea of Love", which was a large success. This film triggered the start of a great decade that included "Godfather Part 3", "Dick Tracy", "Glengarry Glen Ross", and "Scent of a Woman", which finally earned him an Academy Award for best actor. Over the rest of the decade, he starred in "Carlito's Way", "Heat", "Looking for Richard", "City Hall", "Donnie Brasco", The Insider", and "Any Given Sunday", all of which did very well in the box office. His more recent films have been less difficult and include the total flop "Gigli", which is regarded as one of the worst films of all time. Al Pacino has been a bachelor all of his life and has never chosen to marry. However, he has had long relationships, including one with Godfather costar Diane Keaton. He quit smoking in the early 90s in order to preserve his voice, which became damaged over the years. Al is regarded as one of the best actors in film history for his incredible emotion and powerful performances. Among his trademarks are his owl-like eyes and bouts of rage on screen that capture the stage.(written by Jonathan Dunder)

Minggu, 04 Januari 2009

Israeli forces bisect Gaza, surround biggest city.

GAZA CITY, Gaza Strip – Israeli ground troops and tanks cut swaths through the Gaza Strip early Sunday, cutting the coastal territory into two and surrounding its biggest city as the new phase of a devastating offensive against Hamas militants gained momentum. The military used overwhelming firepower from tanks, artillery and aircraft to protect the advancing soldiers, and Gaza officials said at least 31 civilians were killed in the onslaught. The military said troops killed several dozen militants, but Gaza officials could confirm only four dead — in part because rescue teams could not reach the battle zones. The ground invasion and live images of the fighting in Gaza drew international condemnations and dominated news coverage on Arab satellite TV stations, many of which aired footage of wounded Palestinians at hospitals. Hamas threatened to turn Gaza into an Israeli "graveyard." Thousands of soldiers in three brigade-size formations pushed into Gaza after nightfall Saturday, beginning a long-awaited ground offensive against the area's Hamas rulers after a week of intense aerial bombardment. Black smoke billowed over Gaza City at first light as bursts of machine gun fire rang out. The ground operation is the second phase in an offensive that began as a weeklong aerial onslaught aimed at halting Hamas rocket fire that has reached deeper and deeper into Israel, threatening major cities and one-eighth of Israel's population. The new deaths brought the death toll in the Gaza Strip to more than 500 since Dec. 27. Palestinian and U.N. officials say at least 100 civilians are among the dead. TV footage showed Israeli troops with night-vision goggles and camouflage face paint marching in single file. Artillery barrages preceded their advance, and they moved through fields and orchards following bomb-sniffing dogs to guard against booby-traps. Gaza City's civilians cowered inside as battles raged, while terrified residents in other areas fled in fear. In the southern town of Rafah, one man loaded a donkey cart with mattresses and blankets preparing to flee. Lubna Karam, 28, said she and the other nine members of her family spent the night huddled in the hallway of their Gaza City home. The windows of the house were blown out days earlier in an Israeli airstrike, and the family has been without electricity for a week, surviving without heat and eating cold food. She said no one slept overnight. "We keep hearing the sounds of airplanes and we don't know if we'll live until tomorrow or not," she said. Gaza health officials said the dead included a 12-year-old girl, five members of a single family, eight civilians killed by a tank shell in the northern Gaza town of Beit Lahiya, and an ambulance driver. The military reported 30 Israeli troops were wounded, two seriously, in the opening hours of the offensive. In his first public comments on the operation, Israeli Prime Minister Ehud Olmert told his Cabinet on Sunday that he was well aware of the risks, but that Israel could not allow its civilians to continue to be targeted by rockets from Gaza. "This morning I can look every one you in the eyes and say the government did everything before deciding to go ahead with the operation. This operation was unavoidable," he said. A senior military officer said Hamas was well-prepared for the Israeli incursion into Gaza, a densely populated territory of 1.4 million where militants operate and easily hide in civilian the crowded urban landscape. He said the operation was "not a rapid one that would end in hours or a few days." Still, he said, "We have no intention of staying in the Gaza Strip for the long term." He spoke on condition of anonymity in accordance with army regulations. Israel says the objective is to restore quiet to Israel's south, not to topple Hamas or reoccupy Gaza. "You entered like rats," Hamas spokesman Ismail Radwan told Israeli soldiers in a statement on Hamas' Al Aqsa TV. "Gaza will be a graveyard for you, God willing," he said. At midafternoon, the Hamas Interior Ministry said it was still in control of Gaza and had captured residents collaborating with Israel, as well as traders exploiting the situation to inflate their prices. "The security forces are working, despite the shelling of its compounds ... It is protecting the back of the resistance," said ministry spokesman Ihab Ghussein. Rocket fire into Israel has persisted, and more than 30 rockets and mortar shells fell in Israel on Sunday morning, sending Israelis scrambling for bomb shelters. Two Israelis were lightly wounded. In much of southern Israel, school has been canceled and life has been largely paralyzed. While the air offensive presented little risk for Israel's army, sending in ground troops is a much more dangerous proposition. Hamas is believed to have some 20,000 gunmen and has had time to prepare. Israeli leaders had resisted a ground invasion for months, fearing heavy casualties. Israel has called up tens of thousands of reserve soldiers, which defense officials said could enable a far broader ground offensive. The troops could also be used in the event Palestinian militants in the West Bank or Hezbollah guerrillas in Lebanon decide to launch attacks. Hezbollah opened a war against Israel in 2006 when it was in the midst of a large operation in Gaza. An armored force south of Gaza City penetrated as deep as the abandoned settlement of Netzarim, which Israel left along with other Israeli communities when it pulled out of Gaza in 2005, military officials and Palestinian witnesses said. That move effectively cut off Gaza City, the territory's largest population center with some 400,000 residents, from the rest of Gaza to the south. The offensive focused on northern Gaza, where most of the rockets are fired into Israel, but at least one incursion was reported in the southern part of the strip. Hamas uses smuggling tunnels along the southern border with Egypt to bring in weapons. Ground forces had not entered major Gaza towns and cities by mid-day Sunday, instead fighting in rural communities and open areas militants often use to launch rockets and mortar rounds. But they took up positions on the outskirts of Gaza City and the nearby town of Jebaliya. Hamas was firing barrages of mortar shells toward Israeli positions. Israeli helicopter gunships are firing toward mortar launching sites. Israel launched the air campaign against Gaza on Dec. 27 with the aim of halting incessant rocket fire on its south. The operation appears to have slowed but not halted the rocket fire. Hundreds of rockets have hit Israel since the offensive began, and four Israelis have been killed. The relatively low number of Israeli casualties is largely due to warning sirens that give residents notice of incoming missiles and allow them to take cover. The death toll in Gaza has outraged many. U.N. Secretary General Ban Ki-moon conveyed his "extreme concern and disappointment" to Olmert and called for an "immediate end" to the operation. Denunciations also came from the French government, which unsuccessfully proposed a two-day truce earlier this week, and from Egypt, which brokered the six-month truce that broke down ahead of the Israeli offensive, as well as Turkey and Jordan, two other Muslim nations with ties with Israel. Palestinian President Mahmoud Abbas, a rival of Hamas who governs from the West Bank, condemned the Israeli invasion as "brutal aggression." The U.S. has put the blame squarely on Hamas. At an emergency consultation of the U.N. Security Council on Saturday night, the U.S. blocked approval of a statement demanded by Arab countries calling for an immediate cease-fire and expressing serious concern at the escalation of violence. Hamas emerged as Gaza's main power broker when it won Palestinian parliamentary elections three years ago. It has ruled the impoverished territory since seizing control from forces loyal to Abbas in June 2007. In the West Bank, Israeli troops shot and killed a 20-year-old Palestinian who was demonstrating against the Gaza offensive. The army said troops were quelling a violent demonstration and shot at the man when he tried to climb over Israel's West Bank separation barrier and ignored orders to stop. (Associated Press Writers. Matti Friedman reported from Jerusalem.Foto via GETTY IMAGES/uriel sinai).