Jumat, 26 Desember 2008

Evaluasi Bambang DH dan Arif Afandi tahun 2008

Surabaya-Kinerja Pemkot Surabaya sepanjang tahun 2008 tidak lebih baik dibanding kinerja tahun 2006 maupun 2007. Evaluasi kinerja hingga awal Desember 2008 -- menjelang tutup tahun anggaran 2008 pada 20 Desember -- berbagai proyek pembangunan fisik di 24 SKPD (Satuan Kegiatan Perangkat Daerah), utamanya pada penyerapan proyek-proyeknya terekam sekitar 58 persen dari total alokasi anggaran pembangunan lebih kurang Rp 900 miliar. Kondisi seperti itu menyiratkan buruknya pengelolaan manajemen kota Surabaya oleh Walikota Surabaya. Apa dampak dan pengaruhnya terhadap kehidupan kota Surabaya? Simak dan ikuti catatan berikut ini. Pertumbuhan APBD Kota Surabaya dari tahun ke tahun terjadi tren peningkatan. Tahun 2006 nilai APBD sekitar Rp 2,3 triliun melonjak menjadi Rp 2,7 Triliun tahun 2007 dan meroket menjadi Rp 3,19 pada tahun 2008 setelah PAK (Perubahan Anggaran Keuangan). Dari perbandingan angka APBD itu pertumbuhan ekonomi kota Surabaya melonjak dari 6,2 menjadi 6,5 persen dan disebut -sebut terbaik di Jawa Timur. Malahan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) tahun 2008 sebesar Rp 273 triliun/tahun. Dari data itu menyiratkan kualitas perekonomian Surabaya luar biasa, sepertinya kesejahteraan melingkupi warga kota yang berpenduduk 2,912 juta jiwa yang merupakan data terakhir Dinas Kependudukan Kota Surabaya. Lalu bagaimana keadaan sebenarnya di lapangan? Kita bersama memahami bahwa kota Surabaya dikelola oleh manajer yang bernama Walikota Surabaya. Sebagaimana UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda, Walikota adalah unsur penyelenggara pemerintahan di daerah, dan dia mendapat otoritas penuh mengelola keuangan daerah sekaligus mempertanggungjawabkan penggunaannya, baik untuk belanja rutin, belanja modal, dan pengalokasian dana hibah ke berbagai lembaga yang dianggap kredibel menurut perundangan. Mengalokasikan dana APBD triliunan rupiah itu, digagas perencanaan bugeting yang berbasis internet. Dengan perubahan perilaku itu diharapkan tereliminasi pertemuan orang dengan orang sehingga dapat dicegah kolusi dan nepotisme, di samping ada misi lain yaitu upaya mempercepat pekerjaan. Berangkat dari gagasan itu maka perencana kota yang ahli di bidang teknologi informasi (TI) merumuskan pola kerja berbasis internet dengan mengedepankan kemudaan seperti E Bugetting, E Project, E Procurment, E Delivery, E Controll dan E Performance. Sistematika kerja yang konprehensif itu diteruskan ke tengah masyarakat termasuk kepada para pengguna dan pemetik manfaat proyek-proyek. Di tengah perjalanan pelaksanaan E-E menghadapi kendala sangat teknis. Sebagai besar kepada dinas, badan, bagian, bahkan kepala bidang sampai kepala subdin dan seksi-seksi gagap teknologi informasi. Lebih celaka lagi, sebagian besar rekanan sebagai pemetik manfaat proyek-proyek cenderung berperilaku manual. Nuansa kerja yang tidak berbading lurus antara kenyataan dengan program mengakibatkan ketimpangan yang luar biaya di lingkungan Pemkot Surabaya. Akibat buruknya sejumlah proyek fisik telah dikerjakan oleh rekanan tetapi laporan administrasinya mengalami perubahan berkali-kali, bahkan banyak yang memakan waktu sampai 60 hari kerja. Lebih menyedihkan, banyak kepala dinas, badan, dan bagian tidak dapat menyelesaikan laporan keuangan dan akhirnya ditolak oleh bagian keuangan akibat salah nomenkaltur, kode rekening, bahkan tidak sesuai antara pelaporan di internet dengan bukti hard copynya. Otomatis anggaran yang ditetapkan tidak dapat dicairkan sesuai waktunya. Ribuan proyek fisik dan nonfisik tersendat, bahkan harus terpaksa dipindahkan ke alokasi anggaran tahun 2009. Apa akibat buruknya? Yang pasti gagal penyerapan ribuan proyek fisik itu menyebabkan banyak kalangan profesional baik di bidang property, pengadaan peralatan kerja, dan jasa lainnya tidak mendapatkan pekerjaan, yang otomatis dalam tahun berjalan 2008 tidak tersedia lapangan kerja utamanya dalam bentuk padat karya. Dampak buruk langsungnya, banyak warga kota Surabaya dari kalangan pengangguran dan keluarga miskin tidak dapat diberdayakan. Dengan demikian kuantitas dan kualitas kemiskian di Surabaya semakin meninggi. Walikota Surabaya gagal meredam angka kemiskinakan kota? Pengangguran PNS Di sisi lain, tingginya persentase gagal proyek fisik di berbagai SKPD tahun 2008 menyiratkan tingginya angka pengangguran tidak kentara di kalangan PNS Pemkot Surabaya. Dalam kasus ini jelas-jelas negara dirugikan, karena dari dimensi pemberdayaan SDM PNS telah ditetapkan ukuran standar minimal kelayakan kinerja dalam pelayanan kepada publik. Mendasarkan kualitas perekonomian kota tahun 2008 dibanding dengan kinerja Pemkot tahun anggaran 2006 dan tahun anggaran 2007, dapat disimpulkan bahwa performance Pemkot Surabaya tahun semakin memprihatinkan saja. Masalahnya SKPD-SKPD seperti Dinas Tata Kota dan Permukiman, dalam penyerapan proyek fisik sampai awal Desember tahun 2008 hanya sampai pada tataran 40 persen atau jauh lebih buruk dibanding tahun 2007 yang sekitar 85 persen. Di Dinas Pendidikan Kota Surabaya serapan proyek fisiknnya pada kisaran 50 persen atau lebih buruk dibanding tahun 2007 yang sekitar 80-an persen. Sementara di Dinas Pertamanan penyerapan proyek fisik tahun 2008 sekitar 65 persen atau lebih buruk dibanding tahun 2007 yang mencapai 90-an persen, namun di Dinas PU Bina Marga Pematusan penyerapan proyeknya mencapai 85 persen meskipun tidak lebih baik dibanding penyerapan proyek tahun 2007. Lebih runyam di 10 bagian yang berada di bawah Sekkota, menghadapi persoalan serupa akibat banyak pekerjaan terkendala implementasi teknologi informasi berbasis internet. Sepanjang tahun 2008 Pemkot Surabaya menerapkan pola kerja berbasis teknologi informasi meskipun realitasnya sebagian besar PNS masih berperilaku manual. Namun sekitar 18.000-an PNS, termasuk di kelurahan dan kecamatan, dipaksa menghadapi sistem akuntasi berbasis teknologi internet yang cenderung kompleks. Misalnya mereka dihadapkan pada sistem administrasi berbasis internet seperti E Bugetting, E.Project, E.Procurment, E.Delivery, E.Controll, dan E.Performance, yang kesemuanya ternyata tidak tersinkronisai secara konprehensif. Menyedihkan memang. Akibatnya nuansa kerja di lingkungan Pemkot Surabaya amburadul. PPKm (Pejabat Pembuat Komitmen) dan PPTk serta tim tidak dapat bekerja dalam format E Project, E Procurment, bahkan dalam E Performkance sekalipun. Muncul sikap egoisme sektoral yang memang bibit penyakit orang seorang pejabat di lingkungan Pemkot Surabaya sejak puluhan tahun lalu. Kini penyakit gagap teknologi dan egoisme menyatu, lingkungan kerja Pemkot Surabaya kian nestapa, dan akhirnya kesemua masalah itu terakumulasi pada prestasi ketidakmampuan Walikota Bambang Dwi Hartono dan Wawali Arif Afandi mengelola Pemkot Surabaya.(Tabloid Sapujagat.foto via detik.com )

Minggu, 21 Desember 2008

Bambang DH Versus Arif Afandi

Surabaya-Pemkot melantik 1.608 pejabatnya di halaman Taman Surya, Sabtu (20/12) sekitar pukul 09.00. Pelantikan dilakukan Walikota Bambang DH selaku kepala daerah. Adanya penambahan dinas dan badan kepegawaian baru, Pemkot Surabaya harus melakukan mutasi besar-besaran. Sebanyak 1.608 pejabat di lingkungan Pemkot Surabaya dimutasi. Perubahan itu dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 41 tahun 2007 tentang pengaturan perangkat daerah. Bila sebelumnya, dinas di Surabaya berjumlah 15, saat ini ditambah 3 dan menjadi 18 dinas. Perangkat lainnya, 9 badan dari 12 badan dan asisten Pemkot Surabaya menjadi 4 asisten yang awalnya hanya 3 asisten. Menurut Walikota Surabaya, Bambang DH, perombakan dinas dan badan ini menimbulkan dilema. Jika tidak dilakukan maka akan ada sanksi. Sanksinya adalah penundaan kenaikan pangkat dan juga penerimaan dana alokasi khusus (DAU). "Ancaman itu berpengaruh pada organisasi perangkat daerah. Mau tidak mau harus dilakukan," kata Bambang kepada wartawan di Balai Kota Surabaya Jalan Taman Surya dalam pelantikan pejabat lingkungan Pemkot Surabaya, Sabtu (20/12/2008). ditempat terpisah Kepala Badan Kepegawaian Kota (BKK) Pemkot, Dra Yayuk Eko Agustin mengatakan, perubahan OPD terkait dalam pelaksanaan PP 41/2007 mengharuskan semua kepala dinas, badan dan bagian menjalani pelantikan. Untuk itu semua pejabat harus dilantik walikota. Mengingat waktunya mepet dengan pergantian tahun anggaran, akhirnya pelantikan pejabat dilakukan bersamaan. “Ini pelantikan terbesar sepanjang sejarah kota,” katanya.. Komposisi kepala dinas di Lingkungan Pemkot Surabaya sebenarnya tidak mengalami perubahan yang berarti. Yang berubah adalah Kepala Dinas Pajak yang awalnya Endang Tjaturahwati digantikan oleh Purwito yang dulunya Kepala Bagian Pengelolaan Keuangan. Endang sendiri menjadi Kadis Perindustrian dan Perdagangan. Sedangkan Kepala Dinas Tata Kota awalnya Arief Darmansyah kini diganti oleh Hendro Gunawan(plt Kepala DinasTata Kota dan Bangunan). Arief sendiri menjadi Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah. Dinas yang baru adalah Dinas Komunikasi dan Informasi, Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan, ini gabunga dari Dinas Pajak dan Bagian Pengelolaan dan Dinas Pemuda dan Olahraga. Chalid Buhari sebagai Kadis Kominfo sedangkan M.Taswin yang menjabat Dinas Perindustrian dan Perdagangan menjabat sebagai Kadispora. Hary Tjahyono yang semula menjabat sebagai Kabag Humas dan Protokol menjadi Sekretaris Pemuda dan Olahraga. Sedangkan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat, Kartika Indrayana mantan Camat Wonokromo. Perbedaan pendapat. Mutasi sebenarnya hal yang biasa dalam organisasi yang hidup. Selain bertujuan tour of duty, penyegaran,memberi pengalaman baru dan memberi tantangan pada pegawai. Dengan begitu mutasi tidak sekedar ditafsirkan sebagai bentuk promosi,namun bisa sebaliknya. Mutasi adalah bentuk nyata degradasi jabatan. Di lingkungan Pemkot Surabaya,penafsiran mutasi dalam bentuk promosi atau degradasi,bergantung pada suasana subyektif Walikota Bambang DH selaku pemegang kebijakan. Umumnya pejabat yang dimutasi punya hubungan benang merah,baik karena factor kenal, kerabat/famili pejabat,komunitas,kelompok,juga factor balas budi. Berbagai mutasi nyaris tidak menyentuh factor obyektif yang mengedepankan analisa dengan parameter dan indicator-indikator atas kemampuan pegawai. Bahkan stigma mutasi pejabat di Pemkot Surabaya hingga kini terkotak-kotak pada pemikiran premodial sempit dan cenderung berkelompok pada almamater. Ini yang disebut oleh Arif afandi beberapa waktu yang lalu sebagai Domain Politik Bambang DH lupa. Dia mengendalikan kota Surabaya,barometernya Indonesia Timur. Mestinya untuk kota sebesar itu dibutuhkan SDM yang selain memiliki technical skill prima, punya visi ke depan, pengalaman berorganisasinya baik, dan leadershifnya tak diragukan. Akhirnya suasana Pemkot Surabaya jadi gonjang ganjing. Dampak langsungnya, walikota tidak mendapatkan input-input segar, cerdik, dan membangun dari bawahanya. Situasi ini yang oleh Arif afandi ditolak mentah-mentah. Dalam setiap diwawancarai oleh media. Komentar walikota dan wakil walikota selalu berseberangan. Baik itu soal carut marutnya penataan reklame maupun soal pembangunan kota Surabaya. Di dampingi Wakil Walikota Arif Afandi, Bambang DH tidak mampu mengembangkan dirinya dalam kancah perubahan itu. Akhirnya terjadi friksi. Bambang DH memimpin Surabaya menurut visi dan misinya sendiri,begitu pula wakil walikota Arif Afandi sebaliknya.Apalagi Bambang DH dihegemoni pihak ketiga,yang tidak memiliki visi ke depan membangun kota Surabaya, kian meninggalkan Bambang DH yang seakan “hidup” dalam ketidakpastian.Celakanya lagi,pihak ketiga vested interesnya tinggi, cenderung mengedepankan keuntungan pribadinya.* oleh Bidot Suhariyadi.

Selasa, 16 Desember 2008

Abhisit Vejjajiva Harapan Baru Bagi Rakyat Thailand

MUDA dan cerdas. Sosok perdana menteri Thailand yang baru, Abhisit Vejjajiva (44), juga sering dijuluki ”Mr Clean” atau ”Tuan Bersih”. Itu karena reputasinya dalam politik yang terhitung bersih. Dia juga konsisten dalam kampanye antikorupsi. Lahir di Inggris tahun 1964 dan berpendidikan Oxford, Abhisit mendapat banyak dukungan dari kelas menengah berpendidikan di Bangkok, ibu kota Thailand. Dengan bermodalkan slogan ”Utamakan Rakyat”, dia mencoba meraih simpati rakyat Thailand. Meskipun belum memaparkan apa yang akan dia lakukan setelah menjadi PM, Abhisit dikenal sebagai pendukung pelayanan kesehatan gratis, upah minimum yang relatif lebih tinggi, serta pendidikan, buku teks, dan susu gratis bagi anak-anak. Tahun 2006, saat PM (waktu itu) Thaksin Shinawatra mengadakan pemilu dini, Abhisit berkampanye bahwa dia siap menjadi PM yang menganut prinsip pemerintahan yang baik dan beretika, bukan otoritarian. Saat Thaksin dikudeta oleh militer pada September 2006, Abhisit menyatakan penentangan. Tuntut kejujuran Abhisit menuntut standar kejujuran yang tinggi dari anggota Partai Demokrat yang dipimpinnya sejak tahun 2005. Dia juga meminta semua wakil Partai Demokrat di parlemen untuk mengungkapkan aset mereka dan keterlibatan mereka dalam perusahaan swasta. Dia diharapkan bisa membawa negara itu keluar dari krisis politik dan ekonomi. Setelah PM Somchai Wongsawat mundur, awal Desember, Abhisit langsung menyatakan siap mengambil alih kekuasaan. Para analis menilai, Abhisit akan menghadapi tantangan berat dalam pemerintahan. Dia harus berupaya menetralkan pendukung Thaksin yang mengancam akan turun ke jalan serta menjaga koalisi partai-partai kecil yang rentan, yang membawanya ke kekuasaan. ”Abhisit memang belum teruji. Itu bisa baik, bisa juga buruk. Dia memiliki catatan yang bersih. Dia berpendidikan tinggi, cerdas, dan berprinsip sehingga rakyat tampaknya akan memberi dia kesempatan,” kata Panithan Wattanayagorn, analis politik dari Chulalongkorn University. (Kompas.com/ap/bbc/fro)

Cita-cita Zaidi Melempar Bush Kesampaian

MUNTAZER al-Zaidi (28), Senin (15/12), mendadak terkenal. Dia bahkan dianggap sebagai "pahlawan", terutama oleh kelompok anti-AS dan anti-Presiden AS George W Bush, setelah melemparkan sepatu ke arah Bush, Minggu. Tidak ada yang tahu motif wartawan koresponden stasiun TV Al-Baghdadia di balik pelemparan sepatu itu. Zaidi tiba-tiba saja marah dan melemparkan sepatunya secara bergantian ketika Bush dan Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki bersiap-siap menjawab pertanyaan wartawan. Kolega-kolega Zaidi menuturkan, selama ini Zaidi kerap menyampaikan laporannya dari Distrik Sadr City, Baghdad, Irak. Daerah itu termasuk ”markas” tokoh radikal Syiah, Moqtada al-Sadr. Pernah diculik Bahkan, menurut teman-temannya, Zaidi pernah diselamatkan Tentara Mahdi, milisi Sadr, ketika diculik selama lebih dari dua hari oleh kelompok bersenjata, November 2007. Selama diculik, kedua matanya ditutup dengan kain dan tidak makan atau minum. Ia dipukuli hingga pingsan dan tidak pernah tahu identitas penculiknya. Ia dicerca dengan pertanyaan seputar pekerjaannya, tetapi kelompok itu tidak meminta uang tebusan. Rekan-rekan Zaidi mengakui, Zaidi membenci Bush dan menuding Bush bertanggung jawab atas pertumpahan darah di Irak setelah invasi AS tahun 2003. Tidak jelas apakah ia kehilangan anggota keluarga akibat gejolak kekerasan di Irak. Saking bencinya pada AS dan Bush, Zaidi disebut-sebut pernah ingin melancarkan serangan. Tidak jelas apakah itu serangan bersenjata atau hanya sekadar melempar sepatu. Namun, menurut rekannya di Al-Baghdadia kantor Baghdad, Zaidi memang sejak lama ingin melemparkan sepatunya ke arah Bush jika ada kesempatan. ”Ketika dia bilang ingin melakukan itu, kami semua tidak ada yang percaya. Dia membenci AS. Benci tentara AS. Benci Bush,” kata rekan Zaidi yang tidak mau disebutkan namanya itu. Lulusan Baghdad University itu telah bekerja di Al-Baghdadia selama tiga tahun. Salah seorang pejabat di Al-Baghdadia mengaku, keluarganya pernah ditahan pada masa rezim Saddam. Kini Zaidi ditahan Pemerintah Irak. Jika terbukti bersalah menghina kepala negara yang tengah berkunjung, ia terancam minimal hukuman dua tahun penjara atau 15 tahun penjara jika terbukti melakukan percobaan pembunuhan. (Kompas.com/REUTERS/AFP/AP/LUK)

Minggu, 14 Desember 2008

Ada Pemberedelan Koran di Surabaya.

Sejarah pembredelan koran soeara oemoem di surabaya oleh belanda. isinya dianggap menghasut. pemerintah punya kuasa mencabut ijin penerbitan jika mengganggu ketertiban umum. HARI ini, hampir 60 tahun yang lalu. Pada tanggal 23 Juni 1933, Gubernur Jenderal De Jonge menurunkan satu perintah: koran Soeara Oemoem di Surabaya dibredel. Seorang wartawan bernama Tjindar Boemi lima bulan sebelumnya menerbitkan sebuah tulisan tentang pemberontakan di atas kapal De Zeven Provincien. Isinya dianggap "menghasut". Yang menarik ialah bahwa tindakan itu tidak terjadi mendadak. Dalam buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia yang diterbitkan oleh Proyek Penelitian Pengembangan Penerangan Deppen pada tahun 1980, disebutkan bagaimana titah Gubernur Jenderal itu bermula dari laporan Procureur Generaal pada tanggal 10 Februari 1933. Dalam laporan itu disebut adanya perintah kepada yang berwajib di Surabaya untuk menahan Tjindar Boemi. Juga untuk "mendengar keterangan" dari pimpinan Soeara Oemoem, dr. Soetomo, dan menyuruhnya "menandatangani pernyataan setia". Ternyata, di zaman kolonial itu, perintah macam itu tak bisa dengan serta-merta efektif. Pada tanggal 3 Maret, Raad van Indie, semacam dewan perwakilan masa itu, menyatakan tak setuju bila dr. Soetomo harus menandatangani pernyataan setia. Raad van Indie menyarankan tindakan terhadap dr. Soetomo "ditunggu saja" sampai pemeriksaan terhadap Tjindar Boemi selesai. Menghadapi reaksi ini, pihak Procureur Generaal meminta Gubernur Jenderal, penguasa tertinggi di Hindia Belanda waktu itu, menerapkan peraturan pembredelan pers atau Persbreidel Ordonnantie. Tak lupa, di dalam saran itu disertakan kutipan dari sebuah tulisan di Soeara Oemoem yang dinilai "bisa mengganggu ketertiban umum". Empat hari kemudian, Raad van Indie akhirnya juga menyarankan agar peraturan pembredelan pers itu dikenakan terhadap koran yang dipimpin dr. Soetomo. Maka, dibredellah Soeara Oemoem. Penting rasanya untuk disebut bahwa pembredelan hanya bisa berlangsung selama delapan hari. Pasal 2 dari Persbreidel Ordonnantie menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal berhak melarang pencetakan, penerbitan, dan penyebaran sebuah surat kabar paling lama delapan hari. Jika sesudah terbit koran itu masih dinilai mengganggu "ketertiban umum", larangan terbit bisa jadi lebih lama, tapi tidak lebih lama dari 30 hari berturut-turut. Zaman itu tampaknya memang zaman yang keras bagi pers, tetapi bukan suatu masa yang kacau kepastian. Buku sejarah yang diterbitkan oleh proyek penelitian dan pengembangan Deppen itu menegaskan hal itu, "Dengan adanya ketentuan itu, maka pihak surat kabar yang terkena tidak menunggu-nunggu tak menentu ...." Larangan terbit yang mendadak-sontak juga tak ada. "Paling tidak," tulis buku yang redakturnya adalah Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo itu pula, "tidak dilakukan begitu saja ... seperti geledek di siang bolong." Dengan jelas buku itu bahkan menyebutkan bahwa prosedur di zaman De Jonge lebih "rapi" daripada "yang terjadi sekarang" -- meskipun penilaian bahwa tulisan-tulisan tertentu "mengganggu ketertiban umum" sangat sepihak sifatnya. Semuanya, tulis buku sejarah itu, "hanya dilakukan oleh pihak penguasa dan tidak adanya kesempatan membela diri". Hari ini, sekitar 60 tahun yang lampau, mungkin bukan hari yang baik untuk belajar dari sejarah. Atau mungkin setiap generasi mempunyai pukulan-pukulannya sendiri. September 1957, ada 10 surat kabar dan tiga kantor berita serentak ditutup. Tetapi pembredelan yang luas yang pertama kalinya terjadi dalam sejarah pers Indonesia itu -- dilakukan oleh penguasa militer Jakarta Raya -- hanya berlangsung selama 23 jam. Betapapun, suatu babak baru tampaknya telah mulai: ada yang mencicipi enaknya dan ada yang mencicipi pahitnya. Pada 1 Oktober 1958 apa yang pernah berlaku di zaman penjajahan fasisme Jepang diberlakukan lagi di zaman kemerdekaan: setiap penerbitan harus mempunyai Surat Izin Terbit (SIT). Sebuah buku, Garis Perkembangan Pers Indonesia, yang diterbitkan oleh Serikat Penerbit Suratkabar pada tahun 1971 menyebut hal itu dengan muram, "Sejak 1 Oktober 1958, Sejarah Pers Indonesia memasuki periode hitam." "Tanggal 1 Oktober 1958," tulis buku itu, "dapat dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia. Surat kabar yang masih terbit sesudah itu harus mengikuti kehendak penguasa. Setiap waktu SIT dapat dicabut oleh Penguasa .... Sejak itu pers Indonesia bukan lagi sebagai salah satu lembaga demokrasi ...." Agaknya begitulah. Tanggal 24 Februari 1965, Menteri Penerangan membredel serentak 21 surat kabar. Alasan: mereka dituduh bersimpati kepada sesuatu yang terlarang, yakni "Badan Pendukung Sukarnoisme", sebuah organisasi yang menentang PKI. Dengan kata lain: mereka tidak sejalan dengan kehendak yang berkuasa. Mereka telah bersikap (untuk memakai tuduhan yang secara sepihak sering dilontarkan waktu itu) "kontrarevolusioner". Mereka harus "dibabat". Tidak ada lagi kepastian. Tidak ada lagi hak, bahkan untuk membeli diri. Sekian puluh tahun yang lalu, sekian puluh tahun kemudian .... (arsip/1991/07/majalah tempo/ Goenawan Mohamad)

Minggu, 07 Desember 2008

Tan Joe Hok punya Attainable Goal

Selalu punya cita-cita, punya tujuan. Sikap hidup inilah yang membuat Tan Joe Hok—satu-satunya pebulu tangkis anggota tim Piala Thomas 1958 yang masih tersisa—meraih sukses demi sukses dalam hidupnya. Bahkan, dalam usia senja sekalipun, ia masih punya cita-cita. Kita hidup, menurut Tan Joe Hok (71), memang selalu harus punya attainable goal, tujuan yang bisa kita capai. Kalau tidak punya cita-cita, itu sama halnya dengan kapal yang tanpa tujuan di tengah lautan, lalu limbung diombang-ambingkan ombak. Ketika ia masih kecil, misalnya. Mungkin sekitar umur 12 tahun. Si kecil Tan Joe Hok di Kampung Pasir Kaliki, Bandung, juga punya cita-cita sederhana, ”ingin hidup berkecukupan, bisa makan”. Maklumlah. Masa itu, setelah perang kemerdekaan, sungguh sebuah masa yang sangat sulit. Bisa makan pun masih untung. ”Saya bawa keinginan itu dalam doa, ’Ya Tuhan, bawalah saya kepada apa yang saya impikan, apa yang saya tuju...’,” tutur Tan Joe Hok. Si kecil Tan lalu merintis tujuannya itu melalui bulu tangkis. Berlatih di lapangan yang dibangun ayahnya, di depan rumah mereka. Dan, ikut bergabung di klub Blue White, Bandung, ketika ia ditawari Lie Tjuk Kong. Siapa tahu bisa berkecukupan dari bulu tangkis.... Tentu bukan tanpa upaya untuk meraih cita-citanya. Ia biasa berlatih keras dari pagi-pagi buta (sampai sekarang pun Tan Joe Hok terbiasa bangun pukul 04.15 dan senam di gym pribadinya untuk tetap menjaga kebugarannya di usia senja, di rumahnya di kawasan Jalan Mandala, Pancoran, Tebet, Jakarta). Pintu menuju tujuan sederhananya mulai terkuak lima tahun kemudian di Surabaya tahun 1954. ”Saya mengalahkan Njoo Kiem Bie dan tampil sebagai juara nasional pada usia 17 tahun,” katanya. Setelah sukses pertamanya itu, pintu-pintu cita-cita seperti mulai terbuka. ”Saya mulai diundang ke kanan, ke kiri, dan saya pun diundang ke India bersama (pasangan juara All England) Ismail bin Mardjan dan Ong Poh Lin,” tutur Tan. Mulailah Tan pergi keliling India—ke Bombay, New Delhi, Calcutta, Ghorapur, Jabalpur, dan kota lainnya di India. Keliling lebih dari setengah bulan, pulangnya mampir di Bangkok dan Singapura (Malaya, waktu itu). ”Ismail tidak hanya menjadi kawan seperjalanan saya, tetapi juga sahabat saya,” ungkap Tan Joe Hok, tentang pemain Melayu itu. Dari mulut Ismail pula terembus cita-cita kedua Tan Joe Hok yang mulai ”bisa hidup berkecukupan”. ”Ismail bin Mardjan bilang kepada saya, ini saya tak akan lupakan, ’Eh, Joe Hok, kamu akan menjadi yang terbaik di dunia. Asalkan kamu latihan keras seperti sekarang. Tetapi jangan hidupnya kayak saya ini...’,” tutur Ismail bin Mardjan. Ketika mampir di rumah Ismail di Malaya, barulah mengerti apa arti kata Ismail ”jangan hidupnya kayak saya”. ”Jangan bayangkan Singapura seperti sekarang ini. Rumah Ismail ada di kampung, kotor, dan sungainya hitam, berbau,” tutur Tan. Sore hari, pukul 18.00, Ismail selalu pamit kepada Tan Joe Hok. Ternyata, guna menyambung hidupnya, sang juara All England itu harus bekerja jadi petugas satpam, dari pukul 6 petang sampai pukul 6 pagi. ”Doa” Ismail kepada Tan Joe Hok itu rupanya terwujud. ”Saya kerja keras dan rupanya doa itu dikabulkan. Saya diundang ke (kejuaraan bulu tangkis paling bergengsi—sebuah kejuaraan dunia tak resmi) All England, ke Kanada dan Amerika Serikat. Ketiga-tiganya saya juara dalam kurun waktu sekitar tiga minggu,” tutur Tan Joe Hok. Tak hanya berhasil tampil sebagai orang Indonesia pertama yang mampu juara All England, pada tahun 1959, Tan Joe Hok rupanya juga memikat publik di Amerika Serikat. ”Saya dimasukkan di majalah Sports Illustrated,” tutur Tan Joe Hok. Majalah itu masih rapi disimpannya dan, memang, profil Tan Joe Hok menghiasi dua halaman majalah tersebut, terbitan 13 April 1959. ”Wonderful World of Sports. Tan Joe Hok Takes Detroit...”, tulis majalah tersebut. Ada satu foto besar Tan Joe Hok yang berselonjor dengan kedua telapak kaki telanjangnya melepuh-darah, blood-blister, setelah menjuarai AS Terbuka. ”Ketika dioperasi, isinya darah dan nanah,” tutur Tan Joe Hok. Hadiah juaranya? Tan Joe Hok mendapat kesempatan untuk meninjau pabrik mobil di Detroit. Cita-cita apa lagi? Menurut Tan Joe Hok, semua impiannya sejak masa kecil dan juga ketika remaja sudah tercapai semua. Cita-cita berikutnya, Tan Joe Hok ingin menggapai sukses dalam studi. Sejak tahun 1959 itu, Tan Joe Hok studi di Texas, memenuhi beasiswa dari Baylor University Jurusan Premedical Major in Chemistry and Biology. ”Antara tahun 1959-1963 (saat menyelesaikan studi di Baylor), saya masih sempat pulang untuk mempertahankan Piala Thomas 1961 di Jakarta serta 1964 di Tokyo. Tahun 1962, saya juga pulang untuk Asian Games,” kata Tan Joe Hok, yang menjadi atlet bulu tangkis pertama yang meraih medali emas di arena Asian Games. Meski demikian, ada juga ”pengorbanan” yang dilakukan Tan Joe Hok untuk bulu tangkis. Gara-gara ia harus pulang untuk mempertahankan Piala Thomas di Tokyo 1964, studi S-2-nya di Baylor gagal lantaran kurang empat jam kredit (credit hours), maka dia tak lulus, tutur Tan Joe Hok. Situasi konfrontasi, Bung Karno mencanangkan ”Ganyang Malaysia” dan ”Ganyang Antek Imperialis”, membuat Tan Joe Hok mengurungkan niatnya untuk kembali ke AS meneruskan studi S-2. Ia lalu tinggal di Tanah Air. ”Apa kata Bung Karno, saya nurut saja. Saya malah sempat main di perbatasan Kalimantan sampai ke Mempawah, menghibur sukarelawan kita di medan perang,” ungkap Tan Joe Hok. ”Dulu Ganyang Amerika, eh, tahun 1965 giliran Ganyang China. Dampaknya, kita yang nggak ngerti apa-apa jadi kena,” tutur Tan Joe Hok. Di pelatnas Senayan pun terjadi perubahan drastis. Suatu siang, di flat atlet—kini Plaza Senayan—Kolonel Mulyono dari CPM Guntur, Jakarta Pusat, mengumpulkan para atlet. ”Kami semua disuruh ganti nama begitu saja. Pak Mulyono yang tentukan,” tutur Tan. Maka, anggota-anggota Piala Thomas pun ”diberi nama” Indonesia, Ang Tjing Siang menjadi Mulyadi, Wong Pek Sen menjadi Darmadi, Tan King Gwan menjadi Dharmawan Saputra, Lie Tjuan Sien menjadi Indra Gunawan, Tjiong Kie Nyan menjadi Mintarya, Lie Poo Djian menjadi Pujianto, dan Tjia Kian Sien menjadi Indratno. ”Saya diberi nama Hendra oleh (Panglima Kodam Siliwangi) HR Dharsono. Kartanegara saya karang sendiri, pokoknya ada ’tan’- nya,” papar Tan Joe Hok. Ternyata tak sesederhana pergantian nama. Perlakuan terhadap Tan Joe Hok dan kawan- kawannya itu ternyata ”dibedakan”. Mengurus KTP dan paspor, mereka harus menunjukkan bukti Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI) meski nyata-nyata bertahun-tahun mereka sebenarnya telah berjuang untuk negeri ini. Itulah namanya dinamika hidup, terkadang manis, ada waktunya pula pahit-getir.(sumber Kompas/foto:Yuniadhi Agung,Kompas Images)