Selasa, 08 Maret 2011

Ical: Golkar Sudah Kenyang Kekuasaan

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie akhirnya bicara soal sikap partainya. Ia menegaskan partai yang dipimpinnya tidak haus kekuasaan. Golkar adalah partai yang sudah kenyang kekuasaan, melihat jauh ke depan, dan melihat kepentingan bangsa. "Bukan sekadar dua atau tiga posisi menteri, atau sekedar ingin ikut menikmati kekuasaan belaka. Golkar sudah kenyang kekuasaan. Golkar sudah sangat berpengalaman dengan kekuasaan. Semua sudah kita alami dan rasakan," kata Ical, panggilan akrab Aburizal, dalam pidatonya, Ahad (6/3) malam. Dalam pidato yang dihadiri sekitar 200 kader partai dari 33 provinsi, dan sejumlah tokoh-tokoh partai, Ical menginstruksikan agar kader-kadernya tidak mudah terombang-ambing dalam isu-isu keseharian politik yang datang dan pergi. "Termasuk isu koalisi dan reshuffle kabinet. Golkar tidak akan goyah dan tidak akan mudah untuk mengikuti irama politik yang ditabuh oleh aktor-aktor dan kekuatan politik lainnya," kata Ical. Golkar, kata Ical, memilih untuk mempersembahkan semua upaya dan karya demi kejayaan bangsa dan negara. "Justru karena itulah kita sekarang mampu untuk go far beyond the attraction of power," tegasnya. Sejumlah tokoh yang tampak hadir dalam pembacaan pidato Ical antara lain Agung Laksono, Nudirman Munir, Tantowi Yahya, Yoris Raweyai, dan Theo L. Sambuaga. Ical mengatakan, sekalipun menegaskan diri sebagai bagian dari partai koalisi pendukung pemerintah, Golkar tetap bersikap kritis dalam rangka mmperjuangkan hal-hal yang bersifat strategis, karena menyangkut hak hidup masyarakat yang harus diperjuangkan. Dalam bagian akhir pidatonya, Ical menghimbau kepada kader-kadernya, agar dalam melaksanakan fungsi-fungsi kritisnya, seluruh kader Golkar selalu mengedepankan sikap dan perilaku yang baik. "Jangan ikut-ikutan dengan perilaku dan sikap yang tidak baik dari orang lain," ucap dia. (MAHARDIKA SATRIA HADI Senin, 07 Maret 2011 | 06:41 WIB TEMPO Interaktif)

Senin, 07 Maret 2011

Tentang Sebelas Butir Kesepakatan

Jakarta - Terus terang, belakangan ini penulis semakin galau melihat substansi perdebatan politik kita. Mengapa? Terasa ada penyimpangan dari sisi alur, tataran atau bahkan ide-ide dasar bernegara. Dan hal ini semakin diperparah oleh pola komunikasi politik kalangan politikus. Seakan, politik hanyalah proses transaksional sesaat. Terjadi pengabaian luar biasa atas sistem ketatanegaraan kita. Misalnya, pascakegagalan pelaksanaan hak angket DPR RI seputar mafia pajak, gonjang-ganjing perdebatan bergeser kepada koalisi di kabinet. Padahal, sistem presidensial kita tidak mengenal konsep koalisi. Tidak ada dasar-dasar konstitusional untuk menyebut adanya pemerintahan koalisi. Koalisi hanyalah istilah “pasar politik”, tetapi bukan risalah yang memenuhi kaidah-kaidah akademis. Indonesia menganut sistem presidensial, bukan sistem parlementer. Dengan sistem ini, sudah mulai muncul pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif atau yudikatif. Bagi para mahasiswa ilmu politik, diajarkan bahwa di Indonesia pemisahan kekuasaan itu masih kabur. Yang dominan justru pembagian kekuasaan. Dalam hal ini, terdapat tumpang-tindih dan saling-pengaruh antara masing-masing badan: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Salah satu alasan kenapa sistem parlementer ditolak adalah tidak terlaksananya program-program di pemerintahan. Sistem yang memberi tempat kepada Perdana Menteri ini dianggap menjadi penyebab jatuh-bangunnya kabinet. Lewat Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959, Indonesia kembali ke sistem presidensial. Presiden Soekarno menjalankan dua peran sekaligus, yakni sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Sebelumnya, sejak 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno hanya menjadi kepala negara. Maka, kesalahan “kebijakan politik” dalam sistem presidensial adalah kesalahan presiden. Soekarno, Soeharto, BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid adalah “korban” dari sistem presidensial ini, yakni mereka dianggap bersalah ketika pemerintah dinyatakan salah. Megawati Soekarnoputri “selamat” dari kesalahan ini, tetapi sampai kini setiap jurnalis pasti menulis era Megawati untuk menunjukkan soal penjualan aset, misalnya. BJ Habibie dianggap bersalah dengan lepasnya Timor Timur yang menjadi Negara Timor Leste, sehingga pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR RI. Koalisi apa Reshuffle? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato di Istana Negara berisi peringatan kepada partai-partai politik tentang 11 butir kesepakatan. Ini adalah soal penting. Sampai sejauh ini, belum ada kajian mendalam tentang posisi 11 butir kesepakatan itu dalam hubungan bernegara. Apakah ranah hukum tata negara yang bisa disengketakan di Mahkamah Konstitusi, misalnya? Kalau pakem konstitusionalisme itu dianut oleh pendiri bangsa, di era yang kian moderen ini, justru adanya 11 butir kesepakatan yang dilakukan oleh Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono dengan ketua umum masing-masing partai politik itu patut dipertanyakan. Apalagi, wilayah “kerjasama”-nya adalah eksekutif dan legislatif. Memperdebatkan dasar hukum “kesepakatan politik” itu jauh lebih berguna bagi bangsa ini, ketimbang hanya melihat dari sisi politik praktis semata. Bagi penulis, jauh lebih baik Presiden SBY melakukan proses reshuffle tanpa embel-embel koalisi. Kalaupun ada dokumen tertulis yang mau diperkarakan, sebaiknya dokumen yang dilakukan oleh masing-masing menteri dengan Presiden dan Wakil Presiden, ketimbang antara presiden dan wakil presiden dengan partai-partai politik. Jangankan dalam hirarki ketatanegaraan, bahkan dalam hirarki aturan main masing-masing partai politik, kedudukan “kesepakatan politik” itu belum begitu jelas. Forum tertinggi partai politik perlu mengesahkan kesepakatan itu menjadi keputusan partai. Bagaimanapun, konstitusi sudah mengatur betapa menteri adalah pembantu presiden. Tidak ada satu pasalpun dalam UUD 1945 yang menyebutkan bahwa menteri-menteri adalah wakil-wakil partai politik. Sekalipun kedudukan presiden sedikit “lemah” dalam konstitusi, tapi sandaran politik terkuatnya adalah rakyat. Ukuran satu-satunya tentang kedudukan politik presiden dan wakil presiden adalah pilpres, bukan “ijab kabul” antar elite-elite politik. Jadi, kenapa takut reshuffle hanya karena alasan yang tidak punya dasar hukum? Trias Politika? Butir kesepakatan yang menunjukkan bahwa ada kesepakatan lain di luar eksekutif, yakni kerjasama di parlemen, justru semakin membuat keruh trias politika. Sejak awal partai-partai politik telah diikat untuk mendukung kebijakan pemerintah di parlemen. Sementara, rakyat sampai sekarang tidak tahu isi dokumen itu. Para ahli juga tak memperdebatkan, apakah dokumen itu patut dibuat atau tidak. Pidato Presiden SBY tentang keberadaan dokumen itu semakin memperkuat asumsi tentang “ada apa-apa” dalam tubuh pemerintahan. Apalagi, rakyat seakan meraba-raba apa yang sedang diperbincangkan oleh para elite politik. Justru opini digiring tentang kebersalahan partai-partai politik yang tak patuh, paling tidak ditunjukkan dengan perbedaan-perbedaan pandangan dalam sejumlah kasus di DPR RI. Padahal, apa hubungannya kinerja parlemen dengan kinerja pemerintah? Kenapa harus dikait-kaitkan? Presiden bukanlah seorang perdana menteri, begitu juga parlemen tidaklah anggota kabinet. Campur-baurnya sejumlah pandangan elite akhir-akhir ini semakin membawa bangsa ini hanya pada sekadar kuat-kuatan, bukan lagi punya landasan pada soal benar atau salah secara konstitusi. Untuk menghindari beragam tafsiran hukum, apalagi politik, sudah saatnya “11 butir kesepakatan” itu dibuka kepada publik. Jangan sampai dokumen itu bernasib seperti sejumlah dokumen penting lainnya yang mengubah banyak hal dalam jalannya pemerintahan, misalnya dokumen Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Kalau perlu, dokumen itu dibuka di Mahkamah Konstitusi, di depan para hakim konstitusi. Kalau dokumen itu tidak dibuka, kita akan terus-menerus dijebak dalam transaksi-transaksi politik yang tidak jelas. Seolah, dokumen itu bisa dijadikan sebagai alasan untuk “menendang” menteri dalam kabinet. Tampak sekali betapa presiden sangat terlindungi oleh dokumen itu, sehingga dengan mudah bisa memperingatkan siapapun “mitra-mitra koalisi”-nya. Atau, jangan-jangan, dokumen itu hanya sekadar pepesan kosong? Kalau begitu, apa sebenarnya dasar dibalik ribut-ribut menyangkut koalisi dan oposisi? Sudah jelas betapa koalisi dan oposisi itu tidak ada dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia. Sistem pemerintahan daerah semakin menguatkan itu, betapa kader-kader PDI Perjuangan begitu banyak menjadi kepala atau wakil kepala daerah yang notabene bawahan presiden. Bagaimana kita menerjemahkan itu?(Ditulis oleh Indra J Piliang 7. Maret 2011 - 11:35)

Akbar Tanjung Dorong SBY Cepat Lakukan Reshuffle.

JAKARTA - Ketua Dewan Penasihat Partai Golongan Karya (Golkar), Akbar Tandjung, mengatakan siapa pun yang memimpin bangsa ini tentu punya keinginan untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi bangsa dan negara ini. Menurutnya, bisa tidaknya keinginan itu tercapai, juga sangat tergantung pada waktu yang tersedia dan anggota kabinet yang dibentuk. Dari sisi waktu yang masih tersisa tiga setengah tahun, menurut Akbar, jelas sudah tidak mungkin lagi melakukan sesuatu untuk bangsa ini karena dalam realitanya pemerintah hanya mempunyai waktu efektif dua tahun lagi. Satu setengah tahun pasti akan terpakai untuk kepentingan persiapan pemilihan umum (Pemilu) 2014. "Namun niat baik itu sangat sulit untuk diwujudkan oleh Pemerintahan SBY karena dalam massa satu setengah tahun kepemimpinannya yang kedua ini, terlihat sekali kabinet tidak performance dan para menteri pun tidak performance," kata Akbar Tandjung, sebelum berlangsungnya diskusi bertema "Menimbang Efektivitas Pemerintahan SBY-Boediono," di Akbar Tandjung Institute, kawasan Pancoran, Jakarta, Kamis (3/3). Soal tidak baiknya performance pemerintahan SBY-Beodiono, kata Akbar, bukan hanya menjadi berpincangan para elit. Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) juga tidak mengeluarkan penilaian yang baik. "Rakyat sendiripun merasakan hal yang sama," tegas politisi asal Sibolga itu. Menurutnya, fakta tersebut sesungguhnya bisa dijadikan argumentasi kuat oleh SBY-Boediono untuk sesegera mungkin melakukan reshuffle kabinet. "Soal gonjang-ganjing di Sekretariat Gabungan (Setgab), itu cerita lain lagi," imbuh mantan Ketua DPR itu. [] Sumber: Jpnn.com