Rabu, 03 Agustus 2011

Tan Malaka, Sang Pejuang Yang Disingkirkan Negara

Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia. Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya ”Bapak Republik Indonesia”. Soekarno menyebutnya ”seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya. Ia seorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora. Namanya Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan kini mungkin dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap ini: kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi. ORDE Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi, harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan. Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI: musuh abadi Orde Baru. Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso—orang yang telah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai—ketimbang Tan. Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan. Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat nama—salah satunya Tan—apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap. Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu berbunyi: ”…jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.” Politik memang kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup. Ketika Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 36 tahun lalu, mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru sekolah itu terkejut. Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) itu pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin berselancar di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudian Poeze datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan, tersembunyi di balik lemari sekolah. Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933). Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat. W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat ”Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk ”Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain menulis, ”Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri…. Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.” Di seputar Proklamasi, Tan meno-rehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan ”masih sebatas catatan di atas kertas”. Tan menulis aksi itu ”uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan”. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar. Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah. Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer—dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin. Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. ”Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan pemuda. Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens. Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. ”Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang. Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, ”Di depan Tuhan saya seorang muslim” (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia. Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini, ketika negeri ini genap 63 tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang lahir dari aneka keputusan politik itu, dan mencoba mengungkai kembali riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, dan lainnya. (via Jevka.com)

Selasa, 02 Agustus 2011

BULAN SUCI RAMADHAN 1432 H TAHUN 2011

Embun suci di pagi hari, hati yg bersih ‘kan lahir kembali. Bulan ramadhan t’lah menanti, bersihkan diri menghadap Ilahi. Mohon maaf atas segala khilaf yang ada, selamat menunaikan ibadah puasa, semoga ibadah kita diterima Allah ta’ala.

Selasa, 10 Mei 2011

Tentang Pemberdayaan UKM yang digagas oleh H. Aburizal Bakri.

Bagaimana cara untuk terlibat? Bagi masyarakat: Mengisi formulir nominasi yang dapat diunduh dari laman www.bersamabangkit.com Bagi pelaku usaha kecil: 1. Menominasi diri sendiri atau meminta pihak lain. 2. Pelaku usaha kecil yang terpilih berkomitmen untuk mengikuti seluruh rangkaian 3. Pelaku usaha kecil yang belum terpilih bisa mendapatkan dan mempelajari buku pengembangan usaha. Pelaku usaha kecil juga dapat dinominasikan untuk tahun berikutnya. Kapan pelatihan dimulai ? Kegiatan direncanakan setiap tahun dimulai pada bulan Mei tahun 2011. Pilot project pelatihan sudah diselenggarakan pada bulan April 2011. Dimana program dilaksanakan? 1. Program dilaksanakan di 33 propinsi di seluruh Indonesia. 2. Pada setiap propinsi akan dipilih sejumlah pelaku usaha kecil yang akan mendapatkan paket pengembangan usaha. 3. Kursus dan konsultansi pengembangan usaha akan dilaksanakan di tempat-tempat yang mudah dijangkau oleh para pelaku usaha kecil 4. Fasilitas publik yang representatif akan menjadi tempat kursus dan konsultasi. Siapa saja yang dapat terlibat? 1. Yang berhak mendapatkan dukungan pengembangan usaha adalah: 2. pelaku usaha kecil di 33 propinsi di seluruh Indonesia (dibuktikan dengan KTP), 3. yang telah menjalankan usahanya selama lebih dari satu tahun, 4. Perhatian secara khusus akan diberikan kepada pelaku usaha kecil perempuan dan pemuda 5. Masyarakat dan berbagai elemen dapat terlibat dengan menominasikan pelaku usaha kecil yang dikenal melalui proses yang telah ditentukan. Apa yang ditawarkan program ini? 1. Partisipasi masyarakat untuk menominasikan pelaku usaha kecil 2. Kursus pengembangan usaha bagi pelaku usaha kecil 3. Insentif untuk realisasi rencana pengembangan usaha 4. Diseminasi pengetahuan pengelolaan usaha kecil melalui buku 5. Konsultansi dan pendampingan usaha bagi pelaku usaha Siapa di belakang program ini? 1. Program pengembangan usaha kecil merupakan inisiatif H. Aburizal Bakrie selaku Ketua Umum Golkar 2. Golkar berani mengambil inisiatif konkrit memberdayakan tulang punggung ekonomi rakyat, tidak terjebak dalam wacana dan retorika 3. Golkar menerjemahkan politik kerakyatan melalui program konkrit diseluruh Indonesia 4. Pelaksana program ini adalah Gerakan Ayo Bangkit yang memiliki jaringan, trainer, dan konsultan usaha kecil yang profesional. Apa Pentingnya Pelatihan 1. Saat ini lebih dari 98% pelaku usaha di Indonesia adalah pelaku usaha kecil. Memberdayakan pelaku usaha kecil akan memiliki dampak nyata pada pemberdayaan ekonomi rakyat, mengatasi penggangguran dan kemiskinan. 2. Sebagian besar dari pelaku usaha kecil tidak memiliki akses kepada sumber daya ekonomi yaitu modal finansial dan kapasitas usaha. 3. Pemerintah dan berbagai pihak telah mengembangkan program untuk memberikan akses modal seperti melalui KUR Tetapi inisiatif mengembangkan kapasitas usaha para pelaku usaha kecil masih terbatas.(via www.bersamabangkit.com)

Bersama Bangkitkan Usaha Menengah Kecil dengan Bung Ical

Mengapa Aburizal Bakrie dan Golkar Membuat Program Ini? Pelaku usaha kecil merupakan 98,8% dari pelaku usaha di Indonesia. Jenis usaha ini menjadi mata pencaharian lebih dari 90 juta jiwa. Yang termasuk usaha kecil, antara lain, pedagang kaki lima, usaha rumah tangga, pedagang kecil di pasar tradisional, dan semacamnya. Aburizal Bakrie dan Partai Golkar melihat pelaku usaha kecil kerap kali paling tidak diuntungkan oleh derap pembangunan. Padahal mereka adalah mayoritas. Program ini dibuat agar pemimpin dan partai berlomba-lomba membantu dan memberdayakan pelaku usaha kecil.

Selasa, 08 Maret 2011

Ical: Golkar Sudah Kenyang Kekuasaan

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie akhirnya bicara soal sikap partainya. Ia menegaskan partai yang dipimpinnya tidak haus kekuasaan. Golkar adalah partai yang sudah kenyang kekuasaan, melihat jauh ke depan, dan melihat kepentingan bangsa. "Bukan sekadar dua atau tiga posisi menteri, atau sekedar ingin ikut menikmati kekuasaan belaka. Golkar sudah kenyang kekuasaan. Golkar sudah sangat berpengalaman dengan kekuasaan. Semua sudah kita alami dan rasakan," kata Ical, panggilan akrab Aburizal, dalam pidatonya, Ahad (6/3) malam. Dalam pidato yang dihadiri sekitar 200 kader partai dari 33 provinsi, dan sejumlah tokoh-tokoh partai, Ical menginstruksikan agar kader-kadernya tidak mudah terombang-ambing dalam isu-isu keseharian politik yang datang dan pergi. "Termasuk isu koalisi dan reshuffle kabinet. Golkar tidak akan goyah dan tidak akan mudah untuk mengikuti irama politik yang ditabuh oleh aktor-aktor dan kekuatan politik lainnya," kata Ical. Golkar, kata Ical, memilih untuk mempersembahkan semua upaya dan karya demi kejayaan bangsa dan negara. "Justru karena itulah kita sekarang mampu untuk go far beyond the attraction of power," tegasnya. Sejumlah tokoh yang tampak hadir dalam pembacaan pidato Ical antara lain Agung Laksono, Nudirman Munir, Tantowi Yahya, Yoris Raweyai, dan Theo L. Sambuaga. Ical mengatakan, sekalipun menegaskan diri sebagai bagian dari partai koalisi pendukung pemerintah, Golkar tetap bersikap kritis dalam rangka mmperjuangkan hal-hal yang bersifat strategis, karena menyangkut hak hidup masyarakat yang harus diperjuangkan. Dalam bagian akhir pidatonya, Ical menghimbau kepada kader-kadernya, agar dalam melaksanakan fungsi-fungsi kritisnya, seluruh kader Golkar selalu mengedepankan sikap dan perilaku yang baik. "Jangan ikut-ikutan dengan perilaku dan sikap yang tidak baik dari orang lain," ucap dia. (MAHARDIKA SATRIA HADI Senin, 07 Maret 2011 | 06:41 WIB TEMPO Interaktif)

Senin, 07 Maret 2011

Tentang Sebelas Butir Kesepakatan

Jakarta - Terus terang, belakangan ini penulis semakin galau melihat substansi perdebatan politik kita. Mengapa? Terasa ada penyimpangan dari sisi alur, tataran atau bahkan ide-ide dasar bernegara. Dan hal ini semakin diperparah oleh pola komunikasi politik kalangan politikus. Seakan, politik hanyalah proses transaksional sesaat. Terjadi pengabaian luar biasa atas sistem ketatanegaraan kita. Misalnya, pascakegagalan pelaksanaan hak angket DPR RI seputar mafia pajak, gonjang-ganjing perdebatan bergeser kepada koalisi di kabinet. Padahal, sistem presidensial kita tidak mengenal konsep koalisi. Tidak ada dasar-dasar konstitusional untuk menyebut adanya pemerintahan koalisi. Koalisi hanyalah istilah “pasar politik”, tetapi bukan risalah yang memenuhi kaidah-kaidah akademis. Indonesia menganut sistem presidensial, bukan sistem parlementer. Dengan sistem ini, sudah mulai muncul pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif atau yudikatif. Bagi para mahasiswa ilmu politik, diajarkan bahwa di Indonesia pemisahan kekuasaan itu masih kabur. Yang dominan justru pembagian kekuasaan. Dalam hal ini, terdapat tumpang-tindih dan saling-pengaruh antara masing-masing badan: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Salah satu alasan kenapa sistem parlementer ditolak adalah tidak terlaksananya program-program di pemerintahan. Sistem yang memberi tempat kepada Perdana Menteri ini dianggap menjadi penyebab jatuh-bangunnya kabinet. Lewat Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959, Indonesia kembali ke sistem presidensial. Presiden Soekarno menjalankan dua peran sekaligus, yakni sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Sebelumnya, sejak 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno hanya menjadi kepala negara. Maka, kesalahan “kebijakan politik” dalam sistem presidensial adalah kesalahan presiden. Soekarno, Soeharto, BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid adalah “korban” dari sistem presidensial ini, yakni mereka dianggap bersalah ketika pemerintah dinyatakan salah. Megawati Soekarnoputri “selamat” dari kesalahan ini, tetapi sampai kini setiap jurnalis pasti menulis era Megawati untuk menunjukkan soal penjualan aset, misalnya. BJ Habibie dianggap bersalah dengan lepasnya Timor Timur yang menjadi Negara Timor Leste, sehingga pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR RI. Koalisi apa Reshuffle? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato di Istana Negara berisi peringatan kepada partai-partai politik tentang 11 butir kesepakatan. Ini adalah soal penting. Sampai sejauh ini, belum ada kajian mendalam tentang posisi 11 butir kesepakatan itu dalam hubungan bernegara. Apakah ranah hukum tata negara yang bisa disengketakan di Mahkamah Konstitusi, misalnya? Kalau pakem konstitusionalisme itu dianut oleh pendiri bangsa, di era yang kian moderen ini, justru adanya 11 butir kesepakatan yang dilakukan oleh Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono dengan ketua umum masing-masing partai politik itu patut dipertanyakan. Apalagi, wilayah “kerjasama”-nya adalah eksekutif dan legislatif. Memperdebatkan dasar hukum “kesepakatan politik” itu jauh lebih berguna bagi bangsa ini, ketimbang hanya melihat dari sisi politik praktis semata. Bagi penulis, jauh lebih baik Presiden SBY melakukan proses reshuffle tanpa embel-embel koalisi. Kalaupun ada dokumen tertulis yang mau diperkarakan, sebaiknya dokumen yang dilakukan oleh masing-masing menteri dengan Presiden dan Wakil Presiden, ketimbang antara presiden dan wakil presiden dengan partai-partai politik. Jangankan dalam hirarki ketatanegaraan, bahkan dalam hirarki aturan main masing-masing partai politik, kedudukan “kesepakatan politik” itu belum begitu jelas. Forum tertinggi partai politik perlu mengesahkan kesepakatan itu menjadi keputusan partai. Bagaimanapun, konstitusi sudah mengatur betapa menteri adalah pembantu presiden. Tidak ada satu pasalpun dalam UUD 1945 yang menyebutkan bahwa menteri-menteri adalah wakil-wakil partai politik. Sekalipun kedudukan presiden sedikit “lemah” dalam konstitusi, tapi sandaran politik terkuatnya adalah rakyat. Ukuran satu-satunya tentang kedudukan politik presiden dan wakil presiden adalah pilpres, bukan “ijab kabul” antar elite-elite politik. Jadi, kenapa takut reshuffle hanya karena alasan yang tidak punya dasar hukum? Trias Politika? Butir kesepakatan yang menunjukkan bahwa ada kesepakatan lain di luar eksekutif, yakni kerjasama di parlemen, justru semakin membuat keruh trias politika. Sejak awal partai-partai politik telah diikat untuk mendukung kebijakan pemerintah di parlemen. Sementara, rakyat sampai sekarang tidak tahu isi dokumen itu. Para ahli juga tak memperdebatkan, apakah dokumen itu patut dibuat atau tidak. Pidato Presiden SBY tentang keberadaan dokumen itu semakin memperkuat asumsi tentang “ada apa-apa” dalam tubuh pemerintahan. Apalagi, rakyat seakan meraba-raba apa yang sedang diperbincangkan oleh para elite politik. Justru opini digiring tentang kebersalahan partai-partai politik yang tak patuh, paling tidak ditunjukkan dengan perbedaan-perbedaan pandangan dalam sejumlah kasus di DPR RI. Padahal, apa hubungannya kinerja parlemen dengan kinerja pemerintah? Kenapa harus dikait-kaitkan? Presiden bukanlah seorang perdana menteri, begitu juga parlemen tidaklah anggota kabinet. Campur-baurnya sejumlah pandangan elite akhir-akhir ini semakin membawa bangsa ini hanya pada sekadar kuat-kuatan, bukan lagi punya landasan pada soal benar atau salah secara konstitusi. Untuk menghindari beragam tafsiran hukum, apalagi politik, sudah saatnya “11 butir kesepakatan” itu dibuka kepada publik. Jangan sampai dokumen itu bernasib seperti sejumlah dokumen penting lainnya yang mengubah banyak hal dalam jalannya pemerintahan, misalnya dokumen Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Kalau perlu, dokumen itu dibuka di Mahkamah Konstitusi, di depan para hakim konstitusi. Kalau dokumen itu tidak dibuka, kita akan terus-menerus dijebak dalam transaksi-transaksi politik yang tidak jelas. Seolah, dokumen itu bisa dijadikan sebagai alasan untuk “menendang” menteri dalam kabinet. Tampak sekali betapa presiden sangat terlindungi oleh dokumen itu, sehingga dengan mudah bisa memperingatkan siapapun “mitra-mitra koalisi”-nya. Atau, jangan-jangan, dokumen itu hanya sekadar pepesan kosong? Kalau begitu, apa sebenarnya dasar dibalik ribut-ribut menyangkut koalisi dan oposisi? Sudah jelas betapa koalisi dan oposisi itu tidak ada dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia. Sistem pemerintahan daerah semakin menguatkan itu, betapa kader-kader PDI Perjuangan begitu banyak menjadi kepala atau wakil kepala daerah yang notabene bawahan presiden. Bagaimana kita menerjemahkan itu?(Ditulis oleh Indra J Piliang 7. Maret 2011 - 11:35)

Akbar Tanjung Dorong SBY Cepat Lakukan Reshuffle.

JAKARTA - Ketua Dewan Penasihat Partai Golongan Karya (Golkar), Akbar Tandjung, mengatakan siapa pun yang memimpin bangsa ini tentu punya keinginan untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi bangsa dan negara ini. Menurutnya, bisa tidaknya keinginan itu tercapai, juga sangat tergantung pada waktu yang tersedia dan anggota kabinet yang dibentuk. Dari sisi waktu yang masih tersisa tiga setengah tahun, menurut Akbar, jelas sudah tidak mungkin lagi melakukan sesuatu untuk bangsa ini karena dalam realitanya pemerintah hanya mempunyai waktu efektif dua tahun lagi. Satu setengah tahun pasti akan terpakai untuk kepentingan persiapan pemilihan umum (Pemilu) 2014. "Namun niat baik itu sangat sulit untuk diwujudkan oleh Pemerintahan SBY karena dalam massa satu setengah tahun kepemimpinannya yang kedua ini, terlihat sekali kabinet tidak performance dan para menteri pun tidak performance," kata Akbar Tandjung, sebelum berlangsungnya diskusi bertema "Menimbang Efektivitas Pemerintahan SBY-Boediono," di Akbar Tandjung Institute, kawasan Pancoran, Jakarta, Kamis (3/3). Soal tidak baiknya performance pemerintahan SBY-Beodiono, kata Akbar, bukan hanya menjadi berpincangan para elit. Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) juga tidak mengeluarkan penilaian yang baik. "Rakyat sendiripun merasakan hal yang sama," tegas politisi asal Sibolga itu. Menurutnya, fakta tersebut sesungguhnya bisa dijadikan argumentasi kuat oleh SBY-Boediono untuk sesegera mungkin melakukan reshuffle kabinet. "Soal gonjang-ganjing di Sekretariat Gabungan (Setgab), itu cerita lain lagi," imbuh mantan Ketua DPR itu. [] Sumber: Jpnn.com

Sabtu, 29 Januari 2011

REVOLUSI SANG TUKANG BUAH

* 24 Januari 2011 INTIFADAH! Kata yang akrab terdengar di Palestina itu sering diucapkan warga Tunisia sebulan terakhir ini. Gambaran si kecil David melawan raksasa Goliath tak ubahnya seperti satu juta orang yang berbaris melawan ribuan polisi dan tentara selepas salat Jumat di pusat Ibu Kota Tunis dua pekan lalu. "Kami menyerbu Stasiun Metro Barcelona dan dihadang gas air mata. Kami berlari ke Bourguiba Avenue, Champs-Elys�es Tunisia. Di sana, kami kembali berhadapan dengan tongkat dan senapan tentara," tutur Kamel Riahi, novelis Tunisia. Hasilnya sebuah Tunisia yang baru: tanpa sang diktator Zine el-Abidine Ben Ali-tapi ia diperkirakan masih memiliki pengaruh kuat di tubuh partai yang berkuasa (Perkumpulan Demokratik Konstitusional atau RDC) sepanjang 23 tahun. Empat menteri kabinet mengundurkan diri dan beberapa menteri lain melepaskan keanggotaannya dari partai yang berkuasa, menyusul gelombang demonstrasi yang telah menewaskan 83 orang itu, pekan lalu. Namun para demonstran yang masih bergerak di jalan-jalan tetap menuntut pembubaran RDC dan pembentukan pemerintahan baru yang bersih dari pengaruh Ben Ali dan kaki tangannya. Jasmine Revolution atau Revolusi Kembang Melati-begitu pers Tunisia menyebutnya-terpicu oleh sebuah drama di depan sebuah kantor gubernur, 17 Desember tahun lalu. Tersebutlah Mohammad Bouazizi, sarjana ilmu komputer yang tengah menganggur dan berutang US$ 200 untuk membeli gerobak buah buat berjualan di kaki lima. "Aku pergi, Ibu. Maafkan, aku tidak patuh. Aku pergi dan tidak akan kembali," katanya dalam dinding akun Facebook-nya. Pekan itu, polisi Tunisia merazia jalanan Kota Sidi Bouzid, 256 kilometer dari Tunis. Malang, gerobak Bouazizi disita. Dia mengadu ke balai kota, tapi tidak digubris. Kecewa, pemuda 29 tahun itu membeli dua kaleng bensin, lalu membakar diri sendiri di depan kantor gubernur. Tubuhnya luka parah. Tiga minggu kemudian, dia meninggal. Kematiannya memicu protes. Lima ribu pelayat berteriak, "Kami akan membalaskan dendam Anda, Mohammad!" Pemakam-an berakhir rusuh. "Saudaraku telah menjadi simbol perlawanan di dunia Arab," ujar kakaknya, Salem Bouazizi. Lelah dengan kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik, gelombang demonstran meluas. Rakyat Tunisia menuntut lapangan pekerjaan, upah layak, dan kebebasan berpendapat. Mereka juga mendesak Presiden Tunisia Zine el-Abidine Ben Ali lengser. Ajakan revolusi juga menyebar lewat Twitter dan Facebook. Orang dari Mesir, Aljazair, dan Mauritania mengikuti jejak Bouazizi: membakar diri sebagai aksi protes atas ketidakadilan sosial. Di Mesir, Hosni Mubarak, yang berkuasa sejak 1981, didesak turun. Kamis dua pekan lalu, Presiden Ben Ali berpidato dengan emosional. "Saya memahami Anda. Silakan menghentikan kekerasan," katanya. Dia berjanji memenuhi tuntutan demonstran, menyediakan 300 ribu pekerjaan, dan tidak akan mencalonkan diri pada 2014. Namun terlambat, rakyat Tunisia telanjur marah. Tunisia genting. Ben Ali membubarkan pemerintah dan menyatakan keadaan darurat. Esok paginya, televisi pemerintah Tunisia mengumumkan Ben Ali resmi mengundurkan diri. Ketua Mahkamah Konstitusi Fethi Abdennadher menyatakan Ben Ali sudah hengkang dari Tunisia. Dia minggat memboyong 30 anggota keluarganya. Ketua Parlemen Fouad Mebazza ditunjuk menjadi presiden sementara. Perdana Menteri Mohamed Ghannouchi membentuk kabinet koalisi dan menggelar pemilihan umum enam bulan lagi. Kabinet baru Ghannouchi ditolak rakyat karena dianggap perpanjangan tangan Ben Ali. Ada delapan wajah lama yang masih dipakai dan menempati posisi kunci. Akhirnya, empat menteri dari kubu oposisi memutuskan mundur. Sejak Desember hingga Sabtu pekan lalu, setidaknya 42 orang dilaporkan tewas dan ratusan luka-luka. Aksi demonstrasi menolak pemerintahan sementara masih melanda Tunisia hingga hari ini. Dua orang tenaga kerja asal Indramayu, berinisial S dan J, juga sempat terjebak di istana kepresidenan di Carthage. Duta Besar Indonesia untuk Tunisia, Muhammad Ibnu Said, mengatakan keduanya bekerja pada anak-anak Ben Ali sejak tiga tahun lalu. "Mereka adalah TKW ilegal yang masuk Tunisia memakai visa turis," katanya kepada Tempo. Sebanyak 120 orang warga negara Indonesia lainnya dilaporkan selamat. l l l Rakyat Tunisia sudah lama menjuluki Ben Ali sebagai "Ben � Vie" atau presiden seumur hidup. Sejak 1987, sudah lima kali dia menang telak dalam pemilihan umum dengan perolehan suara hampir sempurna. Ben Ali, direktur keamanan nasional, adalah tangan kanan presiden pertama Tunisia, Habib Bourguiba. Pada November 1987, Ben Ali melakukan kudeta tak berdarah. Dia menyatakan Bourguiba tidak layak memerintah karena sakit keras. Ben Ali menjadi orang nomor satu Tunisia pada usia muda, 49 tahun. Awalnya Ben Ali menjadi pahlawan rakyat. Dia dianggap tokoh reformasi karena melarang penangkapan dan penyiksaan sewenang-wenang. Tapi harapan rakyat Tunisia perlahan menguap. Ben Ali tak ubahnya seperti Bourguiba: memimpin dengan tangan besi. "Dia mengelola negara seperti mafia," kata Duta Besar Amerika untuk Tunisia, Robert F. Godec, dalam kawat diplomatik ke Washington. Godec, yang menghadiri jamuan makan siang di rumah anak tiri Ben Ali, Mohammad Sakher el-Materi, tercengang. Keluarga ini bergelimang kemewahan, sementara rakyat Tunisia kesulitan ekonomi. "Inilah yang memicu kemarahan warga Tunisia," kata Godec. Kerajaan Ben Ali menguasai sebagian besar bisnis di Tunisia. Kekayaan dia dan keluarganya mencapai Rp 73 triliun. Leila Trabelsi, istri kedua Ben Ali, menguasai seluruh bisnis properti di negara itu. Mantan penata rambut ini diduga memiliki emas batangan hingga 1,5 ton senilai Rp 543 miliar. Bagaimana nasib sang diktator kini? Jumat itu, Ben Ali mencari perlindungan ke Prancis, negara yang selalu mendukungnya selama dua dekade terakhir. Tapi Presiden Nicolas Sarkozy menolak memberikan suaka. Pesawatnya bahkan tidak diizinkan mendarat. Ben Ali lalu mengais suaka di Malta, Uni Emirat Arab, dan Italia. Namun usahanya sia-sia. Peruntungan datang di Arab Saudi. Ben Ali, 75 tahun, diberi tempat berlindung di sebuah vila yang pernah dipakai diktator Uganda, Idi Amin. Di tempat peristirahatan inilah Idi Amin menghabiskan 13 tahun terakhir hidupnya sebelum meninggal pada 2003. Sami Moubayed, pengamat politik Suriah, berkomentar, "Ironis. Selama berkuasa, Ben Ali melarang perempuan berjilbab dan tak membolehkan masjid mengumandangkan azan." Setelah 23 tahun memerintah, Presiden Ben Ali digulingkan lewat peristiwa paling dramatis dalam sejarah Arab kontemporer. Bukan tank Amerika Serikat yang menggulung simbol Tunisia ini, seperti nasib Saddam Hussein pada 2003. Bukan pula ulama bersorban yang merebut kekuasaan, seperti ketika Shah Iran digulingkan pada 1979. Melainkan orang-orang Tunisia, warga biasa, tua dan muda, yang bangkit dengan satu suara, "Intifadah!" Di bandar udara, saat rombongan Ben Ali meninggalkan tanah kelahirannya, para demonstran memegang spanduk besar, mengusir sang mantan presiden. "Game over, Ben � Vie!" Ninin Damayanti (Guardian, Washington Post, Telegraph, Asiatimes.com)