Kamis, 26 Februari 2009

Refleksi Politik Surabaya 2004-2009 (catatan politik)

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) boleh mengklaim sebagai partai dakwah, partai bersih, partai anak muda atau partai reformis (?), tapi kenyataan di lapangan seringkali berbicara lain. Banyak politisi PKS yang tidak berbeda perilakunya dari politisi partai lain. Bedanya mungkin hanya satu: politisi PKS memelihara jenggot, politisi lain tidak. Cuma itu saja. Selebihnya, politisi PKS sama saja dengan politisi parpol lain. Malah acap lebih parah. Politisi PKS lebih naif dalam bermain politik. Mereka tidak bisa melihat realpolitik sebagai arena pragmatis, yang harus dibedakan dari wacana politik yang memang idealis. Kedua wilayah itu dicampuradukkan dan bahkan merugikan PKS sendiri. Selama Pemilu 2004, PKS di Surabaya memang tampil mengejutkan karena berhasil meraup tiga kursi di DPRD, lalu bersama dengan Partai Demokrat (PD), mereka membentuk Fraksi Demokrasi dan Keadilan (FDK). Sejak awal dilantik sebagai anggota dewan, para politisi PKS sudah menunjukkan gejala canggung menghadapi sorotan publik. Alih-alih untuk memperjuangkan hajat hidup warga Surabaya, mereka justru terjebak kedalam putaran wacana politik yang tidak jelas. Mereka larut dalam idiom-idiom politik yang mengawang-awang, jarang membumi dan kurang memperlihatkan sikap terbuka kepada keaneka-ragaman interest. Dibandingkan politisi Golkar, meski sama-sama baru masuk gedung dewan, politisi PKS jelas kalah luwes. Ketidakluwesan mereka tampak nyata ketika memasuki masa rencana pembentukan koalisi antara bulan Februari sampai April 2005. Karena merasa ditinggal oleh PD yang berkoalisi dengan PAN, maka PKS berusaha mendekati PDIP. Lobi-lobi tingkat atas mulai berjalan, sejumlah pertemuan digelar, antara politisi PKS dan PDIP. Kenapa PDIP tertarik dengan PKS? Tidak lain dikarenakan klaim sepihak dari PKS, bahwa mereka punya mesin politik sampai tingkat kecamatan, RT/RW, yang siap digerakkan. Klaim semacam itu tentu saja manjur untuk dijadikan pemikat kepada PDIP, tapi klaim itu belum tentu mujarab untuk membentuk koalisi permanen menuju Pemilihan Walikota (Pilwali) 2005. Masalahnya sederhana, PDIP bukanlah parpol kemarin sore. Para politisi PDIP di Surabaya adalah mantan demonstran, aktivis dan sudah teruji di lapangan. Begitu mereka mendengar PKS mempunyai mesin politik yang tangguh, serta-merta mereka melakukan pengecekan di lapangan. Hasilnya? PKS hanya kuat di beberapa kantong saja, seperti di kecamatan Sukolilo, kecamatan Pabean Cantikan (daerah Tanjung Perak) dan kawasan Kauman Kalimas Udik. Di tiga kawasan itu, PKS memang unggul dalam perolehan suara pada Pemilu 2004. Selebihnya, PKS rontok. Nah, fakta politik ini tentu menjadikan para politisi PDIP berpikir ulang untuk menyepakati rencana koalisi dengan PKS. Apalagi, belum apa-apa PKS sudah menyodorkan 'kontrak politik' yang wajib ditandatangani ketua DPC PDIP beserta jajarannya. Tentu saja, setelah melihat isi kontrak itu, para politisi PDIP geleng-geleng kepala sembari mengurut dada, sebab dalam kontrak itu PKS implisit sudah minta jatah kekuasaan. Belum berkuasa saja sudah minta jatah, apalagi nanti kalau koalisi jadi dibentuk, tentu PDIP yang akan ditunggangi. Begitu kira-kira jalan pikiran politisi PDIP. Untuk menunjukkan keseriusan, PKS mendatangkan Sekjen DPP PKS Suripto. Mantan orang BAKIN ini jauh-jauh datang ke Surabaya khusus untuk mendorong PKS agar jadi berkoalisi dengan PDIP. Meski berlatarbelakang intelijen, Suripto tetap tidak bisa membaca peta politik Surabaya yang khas. Informasi dari DPW maupun DPD PKS kepada Suripto hanyalah informasi akan kadarnya, bukan informasi yang bisa diolah menjadi data untuk aksi-aksi lapangan. Suripto menganggap kehadirannya bisa memberi sinyal kepada PDIP Surabaya, bahwa PKS bersungguh-sungguh hendak berkoalisi. Akan tetapi, ada faktor lain yang luput dari pertimbangan atau perhatian Suripto Cs. Faktor itu adalah permainan politik non-formal diluar lobi-lobi resmi lintas parpol. Ketika Suripto merancang strategi bersama PKS di kantornya di Jl Embong Wungu, Surabaya. Pada saat yang sama, kelompok politisi jalanan memainkan strateginya. Mereka adalah Jalil, Cholik dan beberapa orang, yang biasa nongkrong di Dome Cafe Tunjungan Plaza. Dari pembicaraan mereka, tersingkap bahwa mereka akan mendorong Arif Affandi (Pimred Jawa Pos) untuk maju sebagai calon wakil walikota (cawawali). Untuk itu, diperlukan kecepatan menggunting pendekatan yang dilakukan PKS kepada PDIP, setelah itu Arif Affandi dipasangkan dengan Bambang DH. Suripto tak mengetahui rencana ini. Dia sibuk dengan analisa gombal ala politisi PKS yang baru belajar politik. Politisi PKS terlalu beranggapan, bahwa permainan politik itu bersifat linier. Entah mengapa, mereka mengabaikan adagium lama, bahwa bermain politik itu harus faham lapangan dan teknik bermain zig-zag, bukan permainan lurus bak rumus matematika. Pada 16 Februari 2005, Arif mendaftar ke sekretariat PDIP dengan diringi reog Ponorogo dan para pendukungnya. Nyaris seluruh jurnalis, reporter dan jajaran media massa ikut hadir dalam launching di gedung PWI Jatim itu. PKS spontan kaget setengah mati. Mereka tidak menyangka, Arif akan mau dipasangkan sebagai cawawali dengan Bambang DH, sebab selama ini rumor yang beredar, Arif akan maju sebagai cawali, bukan cawawali. Ketika fakta berbicara lain, politisi PKS pun tak berkutik dan mereka hanya terdiam membisu. Habis sudah peluang mereka untuk bisa masuk ke lingkungan Pemkot Surabaya. Sebab, parpol lain pun sudah tak mau menggandeng PKS yang acap 'jual mahal' dan selalu ja-im (jaga imej). Begitu Arif sampai di kantor sekretariat pendaftaran PDIP, ia langsung disambut Bambang DH dengan senyum. Maka, buyarlah harapan PKS untuk bisa digandeng PDIP. Saat itu juga, Suripto langsung ngacir terbang balik ke Jakarta. Ini merupakan pelajaran berharga buat PKS yang acap gembar-gembor sebagai parpol reformis (?), bahwa liku-liku politik bukanlah jalan yang mudah semudah mereka berdakwah di kalangan ABG politik. Tapi rupanya, PKS tetaplah PKS, kesalahan fatal politisi PKS di Surabaya kemudian terulang kembali di Banten dan DKI Jakarta, meski dalam Pilwali Depok mereka menang, tapi itu kemenangan massa PKS, bukan dikarenakan kepiawaian politisi PKS.(Ini sepenggal tulisan yang tidak dimuat di media pada waktu itu karena sesuatu hal.tulisan ini berdasarkan pengamatan,pandangan mata,penggalian informasi tentang catatan politik Arif Afandi,saya adalah terlibat dalam kancah politik 2004-2009. Waktu itu saya bagian dari sub ordinasi dari Jalil Latuconsina.bertugas sbg penggalangan massa untuk dukungan kpd Arif Afandi di rumah makan taman apsari surabaya.(Penulis Bidot Suhariyadi.)

Rabu, 25 Februari 2009

Politisi berwajah ‘Tom Cruise’

Dalam salah satu karyanya, Yasraf Amir Piliang yang berjudul Transpolitika (dinamika politik di dalam era virtualitas) mengajak kita untuk membayangkan: “bayangkan sebuah dunia politik yang di dalamnya tidak ada ruang politik, melainkan ruang digital politik. Tidak ada kebenaran politik melainkan manipulasi politik. Tidak ada kepercayaan politik melainkan perdayaan politik. Tidak ada realitas politik melainkan fatamorgana politik. Tidak ada kebajikan politik melainkan permainan bebas politik. Inilah dunia politik yang di dalamnya terjadi perubahan mendasar mengenai definisi dan pemahaman tentang ruang, kebenaran, kepercayaan, realitas, transendensi politik; yang mengubah pula secara mendasar konsep tentang politik itu sendiri.” Dalam tulisan ini, ingin saya paparkan tentang model (ber) politik yang lebih banyak focus pada persoalan sebagai ‘pencitraan’ para politisi dalam ruang (imaginasi) politik. politisi yang berhati seperti ‘Kapten Nathan Algren’ dalam film The Last Samurai. Dalam konteks ini, adalah penting bagi kita untuk melihat bagaimana politisi itu muncul atau menampilkan dirinya ke dalam ruang public, karena dunia politik bukan hanya sebagai ruang tempat lalu lalang para actor, sarana, prasana dan objek politik saja (fisikal dan psikis) akan tetapi juga sebagai ruang bagi ide, gagasan dan juga konsep. politisi secara tidak langsung melalui berbagai sarana yang dapat merepresentasikan dirinya, pemikiran dan tindakannya. Hal ini dapat dilihat melaui perang poster dan perang baliho oleh politisi di jalan-jalan . Hal lain yang juga dapat dilakukan oleh politisi adalah melalui cara, seperti mengundang para jurnalis secara massif. Peristiwa tersebut kemudian dapat di hadirkan kembali (representasi) melalui media surat kabar, majalah atau televisi dalam bentuk yang lebih heroic, lebih santun, lebih populis dan sebagainya. Yang pasti peran penulisnya atau wartawan sangat mempengaruhi penampilan kembali dari politisi tersebut. Tidak jarang malah tercipta ruang dimana imanensi politik terganggu oleh aspek-aspek luar dirinya. Maksudnya, peristiwa politik tidak lagi murni dimainkan oleh para politikus tetapi juga oleh actor diluar politikus (salah satu contoh adalahjurnalis). prorepresentasi atau penampilan politisi melalui ruang digital dimana pencitraan dapat dilakukan secara ‘membabi buta’ sekedar membangun image ‘baik’, image ‘peduli rakyat’, image ‘berjiwa muda’, image ‘seorang pemimpin kharismatik’ dan sebagainya. Segala tingkah laku politisi tidak lagi tercipta berdasarkan logika politik, misalnya hubungan antara penguasa dan rakyat (principal – agent) dimana rakyat menuntut politisi mengabulkan. Tetapi yang terjadi justru penampakan para politisi itu sangat ditentukan oleh logika dan mekanisme media itu sendiri seperti ‘idola’ atau ‘pengidolaan’ politisi melalui berbagai mekanisme pencitraan yang mengikuti gaya media komunikasi dan informasi seperti iklan dll. Segalanya di poles habis untuk membangun citra yang bukan sebenarnya. Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa penampakan politisi secara nyata (present/presentasi) akan membentuk logos dan kebenaran yang dapat disaksikan secara langsung. Sedangkan penampakan politisi melalui sarana (represent/representasi) dapat menimbulkan ‘kesan’ atau image belaka yang kebenarannya belum tentu dapat diterima. Dan lebih parah penampakan secara virtual jauh-jauh lebih tidak realistis karena politisi sebenarnya tidaklah tampil tetapi justru dicitrakan dan menampakkan banyak ketidak benaran akan dirinya seolah-olah benar.

Surat Dari Seorang Sahabat tentang Tokoh Kontroversial.

Perawakannya tinggi besar, berkumis dan berjenggot, rambut agak gondrong tapi semuanya putih. Sembari mengisap rokok dalam-dalam, dia sering duduk di Dome Cafe, Tunjungan Plaza. Di meja cafe itu, juga duduk para politisi lintas parpol, penggerak massa, aktivis organisasi dan ketua-ketua paguyuban. Sosok berjuluk 'Jenggot Putih' tersebut tidak lain adalah Jalil Laconsina, putra Maluku keponakan mantan Gubernur Maluku Akib Latuconsina dan sepupu mantan Gubernur Maluku Saleh Latuconsina. Bagi sahabat-sahabat dekatnya, Jalil akrab disapa 'Abah' atau 'Bang Jalil', sapaan yang menunjukkan kedekatan dan keakraban. Jalil adalah mantan aktivis mahasiswa '77/'78 dan jam terbangnya di dunia aktivis dan kepengurusan ormas sungguh sulit dijangkau aktivis biasa. Dialah satu-satunya penandatangan Petisi 50 dari Jatim. Akibat menandatangani petisi itu serta juga aktivitasnya menantang Soeharto dekade '70-an, Jalil kemudian harus merasakan dinginnya bui di Penjara Koblen, Surabaya. Ia dipenjara karena perkara politik tanpa proses pengadilan. Dasar demonstran, di penjara pun dia menggerakkan para narapidana untuk menuntut hak-hak dasariah, seperti memperoleh makanan yang layak. Dia memprovokasi para napi supaya bergerak memprotes sipir penjara yang tega memangkas jatah makanan empat sehat lima sempurna. Rupanya penjara menjadi tempat silaturahmi bagi sang 'Abah' dengan para napi. Banyak napi saat itu kagum pada wawasan Jalil dan mereka tetap melanjutkan silaturahmi itu meski sudah berada di luar penjara. Dua tahun lalu, alumni penjara Koblen berkumpul dan bersilaturahmi halal bi halal dengan abah di sebuah hotel berbintang. Semua biaya ditanggung oleh Jalil, yang baru saja memperoleh rejeki halal. Saya trenyuh menyaksikan para mantan napi dan keluarganya itu. Begitu melihat Jalil, mereka sesenggukan dan merangkul Jalil. Para sahabat lama kembali bersatu. Masing-masing menceritakan betapa kesehariannya kini sangat sulit karena harga kebutuhan pokok yang terus melambung, apalagi setelah pemerintahan SBY-JK menaikkan harga bensin sampai duakali setahun pada 2005 lalu. Kenaikan harga bensin duakali dalam setahun itu tercatat pertamakali dalam sejarah Indonesia sejak merdeka. Seperti biasa, Jalil hanya menyimak sembari mengisap rokok Dji Sam Soe dalam-dalam. Usai pertemuan silaturahmi itu, saat malam semakin larut, Jalil mengajak saya untuk santap malam di restoran hotel tersebut sembari sedikit berbincang, dan saya pun semakin mengenal sosok kontroversial ini. Ternyata dibalik perawakannya yang sangar, dia adalah orang berhati lembut, dibalik penampilannya yang eksentrik ternyata dia gampang iba. Siapa saja yang datang kepadanya dan berkeluh-kesah tentang kepedihan hidup, pasti disantuninya. Tak jarang, sikap ini kemudian sering dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya cuma ingin merogoh kocek sang abang. Teman-temannya sesama aktivis '77/'78 kini sudah bertebaran. Heri Akhmadi, sudah menjadi politisi Senayan dari PDIP, Ibrahim G Zakir (Bram Zakir) di Jakarta saat ini sudah menjadi rujukan para aktivis lapangan di Jakarta, bahkan Roem Tomatipasang, yang aktif memberdayakan masyarakat itu, kini sudah melanglang buana. Di lingkup Jatim, rekan-rekannya sesama mantan aktivis pun sudah berkibar di panggung politik dan ormas Jatim. Sebut misalnya, Ketua PWNU Jatim Ali Maschan Moesa, Ketua GP Ansor Jatim yang sekaligus Ketua PKNU Choirul Anam, juga sudah berkehidupan layak. Uniknya, Jalil tidak mau memilih jalan pintas jadi kaya dengan memanfaatkan lobi-lobi politik atau jejaringnya di kalangan pebisnis. Jalil lebih memilih untuk tetap di jalur kontroversial, yang tidak semua orang paham sepak-terjangnya. Contohnya, ketika nyaris setiap malam, dia kongkow-kongkow bersama (almarhum) KH Imam Jazuli (Gus Mik), tokoh Semaan Quran Jatim di Hotel Elmi Surabaya (Gus Dur sendiri segan pada Gus Mik). Banyak orang mengira, jamaah Elmi (salah-satu penggembiranya adalah Emha Ainun Najib) itu sedang mendem bir atau minum cocktail tiap malam, tapi sebenarnya, kalau disimak baik-baik dan diikuti dengan seksama, justru Jamaah Elmi itu sedang berbincang tentang tema-tema sufi dan politik, yang sulit dijangkau orang awam. Namun demikian, jangan salah sangka dulu. Jalil toh tetap membumi. Ketika menghadiri diskusi rutin Jamaah Elmi itu, sering pula Jalil mengajak para bromcorah, preman atau pengamen jalanan, untuk ikut menikmati santap malam di hotel. Kadang jumlah mereka sampai puluhan, dan mereka senang sekali bisa makan rutin nyaris seminggu dua kali bersama sang abah. Sembari makan, biasanya mereka bersenda-gurau dan kebiasaan Jalil ini dimulai sejak ia keluar dari penjara dan meniti karir bisnis dengan mendirikan perusahaan bernama PT Salamander Jaya. Suatu ketika saya tanya pada dia, kenapa dinamakan salamander? Itu kan nama binatang. ''Salamander itu binatang yang bisa hidup dimana saja, Rud. Harapanku, perusahaan ini bisa hidup dalam situasi apapun, termasuk dalam musim pancaroba politik...hehehe'' jawab Jalil singkat. Ajaibnya, PT Salamander memang tetap eksis ditengah krisis berkelindan sepanjang tahun 1997-1998. Rupanya, Jalil memang piawai menggerakkan roda bisnis dan ia acap pula membagi-bagikan uang hasil bisnis itu kepada wong cilik, yang diundangnya santap malam dan pulang diberi sangu segepok duit. Jangan ditanya soal main politik. Jalil ini justru dedengkot politisi Jatim. Banyak politisi, dari parpol apapun di DPRD Jatim dan DPRD Surabaya yang kenal, akrab dan sering sowan ke Jalil. Mereka sering terlihat dinasehati untuk tidak terlalu rakus makan uang APBD dan menghambur-hamburkan uang untuk studi banding. Jalil tahu perilaku para politisi itu. Suatu ketika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Ir Soetjipto mengeluhkan ke Jalil, ihwal perilaku beberapa anggota DPRD dari PDIP yang bandel sering studi banding, sulit dinasehati DPP. Tanpa pikir panjang, Jalil pun membongkar kasus perselingkuhan sang politisi bandel itu di media massa. Seluruh tetangga kanan-kiri disamping rumah sang politisi dikirim edisi koran yang memuat skandal politisi itu secara gratis, spontan pada siang hari itu sang politisi menelepon Jalil, ingin ketemu. Saat bertemu di cafe Dome, sang politisi itu memohon ampun kepada Jalil. Dia menghiba-hiba agar Jalil tidak meneruskan serangan 'character assasination' itu. Jalil cuma menjawab singkat,''Jangan minta ampun ke saya, kamu tobat ke Tuhan, bukan ke saya,''. Bagi yang belum kenal dengan Jalil, sering sinis beranggapan, bahwa Jalil adalah preman, khususnya preman politik. Meski istilah preman itu sendiri sebenarnya masih layak diperdebatkan. Jalil jelas tidak bisa disamakan dengan para pengurus atau aktivis Pemuda Pancasila (PP), Pemuda Panca Marga (PPM) atau FKPPI. Justru sebaliknya, para aktivis ormas kepemudaan itu sangat hormat, tunduk dan patuh kepada Jalil. Pada tahun 2003, ketika Vedi Hadiz melakukan penelitian bertopik 'predatory capitalist' di tingkat lokal, saya membawa Vedi menemui Jalil dan Vedi mewawancarai Jalil sampai larut malam. Seakan tahu kesukaan Vedi, sebelum Vedi datang ke kantornya Jalil di Jl Makam Peneleh, Surabaya, Jalil sudah menyediakan sebotol champagne merah. Vedi pun agak terkejut, darimana Jalil tahu kebiasaannya meminum anggur itu. Tak lama berselang, diskusi pun berlangsung gayeng sembari sesekali meneguk secawan anggur. Jalil menjadi salah-satu narasumber bagi Vedi dan pada salah-satu tulisan Vedi yang terbit disebuah jurnal internasional, nama Jalil ikut termuat. Itulah sekelumit kisah 'Robin Hood' Surabaya. Ia kontroversial, sering dianggap preman meski anggapan itu sulit dibuktikan jika merujuk kepada apa dan bagaimana preman (free-man) itu. Jalil tidak pernah peduli dengan tudingan apapun kepada dirinya. Yang dia peduli adalah berpihak kepada mereka yang membutuhkan, tanpa kecuali. Ia akrab dengan para abang becak, para PKL, bercanda dengan pengamen-pengamen kecil, tapi dia juga bisa garang menghadapi politisi badung di Jatim dan Surabaya. Uniknya, acapkali saya menemukan dia ketika sendiri di ruang kerjanya yang semi-modern, menonton tayangan CNN atau BBC (meski ia tidak begitu paham bahasa Inggris), sembari ia membaca buku puisi Kahlil Gibran. Saya kadang tertawa ngakak, kalau sudah menemukan dia dalam keadaan begitu...(Surabaya Medio Februari 2009)

Senin, 09 Februari 2009

“Membangun Politik Lokal Yang Berbasis Kepentingan Publik ”

Surabaya merupakan salah satu daerah yang mengalami dinamika konstelasi politik lokal yang cukup signifikan sejak digelarnya Pemilu 1999 secara lebih demokratis. Para aktor politik Kota Surabaya mulai mengembangkan kebiasaan berpolitik baru yang berpangkal pada cara menghayati aspirasi masyarakat. Politik pembangunan lokal harus bisa menyerap sebaik mungkin aspirasi warga sekaligus transparan dalam menjalankan program-program pembangunan kota. Poitik lokal saat ini harus dibangun berdasarkan kepentingan dasar masyarakat yang ada. Politk harus merubah paradigma dari paradigma memimpin menjadi paradigma melayani masyarakat. Ini berarti bahwa politik lokal harus bisa menjadi sarana bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan guna melangsungkan hidupnya. Sebab melalui politik kebijakan-kebijakan publik bisa dirumuskan dan dilahirkan. Sehingga kebijakan-kebijakan publik tersebut bisa membawa manfaat bagi masyarakat. Relasi politik dan masyarakat lokal yang demikian ini seringkali tidak dipahami oleh masyarakat maupun aktor-aktor politik yang ada. Sebaliknya, yang umum terjadi adalah para aktor politik bersikap masa bodoh dengan kepentingan masyarakat, kalaupun ada perhatian acapkali kepentingan masyarakat tersebut disalah gunakan sebagai alat tawar menawar (bargaining) politik. Sedangkan masyarakat pun juga tidak mau ambil pusing dengan urusan politik,sebab mereka sudah muak dan jenuh dengan perilaku aktor politik yang cenderung pragmatis dan oportunis. Kondisi tersebut saat ini sudah harus diperbaiki,oleh karena itu ada 3 faktor penting yang harus dijadikan titik tekan utama dalam melakukan perbaikan sosial ini, yakni : 1. Pelaku Politik Yang Paham Kondisi Masyarakat Arus Bawah dan Bervisi Global Guna mengetahui kondisi riil dalam masyarakat,maka mutlak diperlukan pelaku politik yang berasal dari masyarakat bawah. Pelaku politik yang pernah mengalami kehidupan sebagai masyarakat bawah, merupakan aktor politik yang sempurna untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Di sisi lain peralihan era dunia yang berlangsung begitu cepatnya membutuhkan kesiapan aktor politik untuk menghadapi kebutuhan global. Ini diperlukan untuk membawa kepentingan masyarakat menghadapi kondisi global. 2. Potensi Politik Daerah Akibat percepatan desentralisasi tanpa kesiapan memadai telah mendorong terjadinya amnesia terhadap potensi daerah. Aktor politik lokal pun sempat larut dalam euforia perpolitikan daerah dan menganggap kepentingan masyarakat daerah hanyalah bagian kecil pembangunan daerah. Sehingga potensi politik daerah belum terarahkan sebagaimana mestinya 3. Revitalisasi Politik Lokal Desentralisasi (otonomi daerah), pada satu sisi bisa menjadi peluang, namun di sisi lain bisa menjadi ancaman bagi jati diri bangsa. Karena itu diperlukan pemetaan terhadap peluang dan ancaman terhadap politik lokal atas adanya fenomena desentralisasi ini. Ini diperlukan untuk mempersiapkan bangunan politik lokal yang bernafaskan desentralisasi dalam bingkai NKRI.oleh Bidot Suhariyadi,Ketua SPAN (Surabaya People Action Network)