Minggu, 02 November 2008

Pedophilia

Pemberitaan selama sepekan kemaren tentang Syeh Puji yang menikahi bocah 12 tahun cukup mengagetkan. Atas perilakunya itu dia dicibir oleh ibu-ibu se-Indonesia. Kaum perempuan pun kian muak tatkala pimpinan Pondok Pesantren di Semarang ini mengaku mau kawin lagi dengan bocah yang berusia 6 atau 7 tahun. Tapi dia tampak cuek dengan respon masyarakat yang rata-rata menghujatnya habis itu. Alasan agama dipegangnya kuat-kuat. Begitulah Indonesia, segala persoalan selalu membawa-bawa agama. Padahal bangsa ini bukanlah negara Islam (atau agama tertentu lainnya). Dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Tapi apa boleh buat, dalam prakteknya selalu saja dicampur-aduk antara urusan agama dan kenegaraan. Kalau di negara maju, sebutlah Amerika Serikat, misalnya, Syeh Puji pasti sudah dijerat dengan UU Pedophilia. Penyanyi pop legendaris, Michael Jackson, sudah berkali-kali disidang menggunakan UU tersebut terkait perilaku seksnya yang menyimpang sebagai pedofil. Indonesia memang tidak punya UU Pedophilia bagi warganya yang memiliki kelainan perilaku seks seperti Michael Jackson yang sangat merugikan bagi perkembangan anak-anak yang menjadi korbannya itu. Namun begitu bukan berarti Syeh Puji lantas bisa mengawini anak-anak yang dia mau seenak udelnya sendiri. Apalagi, dengan iming-iming janji kepada si-anak kalau sudah gede nanti mau dijadikan manajer di salah satu perusahaannya, maka dia telah sekaligus melanggar tiga UU yang berlaku di Indonesia. Yaitu UU RI No. 1/ 1974 tentang Perkawinan, UU RI No. 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU RI No. 13 tentang Ketenagakerjaan. Silahkan cari sendiri isi termasuk hukuman dan denda bagi para pelaku yang melanggar UU tersebut di perpustakaan terdekat---sebab kalau dicuplik di sini nanti topiknya bisa tambah panjang tak karuan. Yang jelas, di Indonesia, Syeh Puji hanyalah salah satu contoh kasus pedofil yang muncul di permukaan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia punya data, sepanjang tahun 2007, ada sekitar 34,7% anak-anak Indonesia yang putus sekolah SD dan SMP karena menikah. Namun, kalau mau belusukan ke desa-desa di seantero pelosok negeri, pasti akan ditemukan lebih banyak fakta lagi tentang anak-anak (di bawah usia 16 tahun) yang sudah dikawin oleh lelaki yang sebenarnya lebih pantas disebut sebagai bapak atau bahkan embahnya itu. Adapun faktor utama yang melatarbelakangi maraknya kasus pedofil ini sebenarnya cuma dua. Yaitu mitos awet muda untuk si bandot tua dan (keluarga) anak miskin yang butuh uang. Celakanya, Indonesia justru menjadi tempat persembunyian yang nyaman bagi para pedofil se-dunia dan itu sudah menjadi rahasia umum. Konon sebagian besar bule datang ke Bali selain untuk pesiar sekaligus hunting bocah untuk dipedofil. Ini karena UU Pedophilia di negara asal para bule tersebut telah dipatuhi dan dijalankan dengan sangat super ketat. Jangankan untuk mengawini bocah ingusan, di negara maju (kawasan Amerika dan Eropa, misalnya), mencolek anak kecil saja bisa dikenai pasal molesting. Terlebih men-spanking pantat si Anak bisa dituduh abuse. Apalagi memperkosa, bisa-bisa berakhir di hotel prodeo!!! Bocah yang dikawinkan atas persetujuan keluarga pun orang tuanya juga bisa sekalian kena hukum. Indonesia, kendati tidak memiliki UU Pedophilia, toh masih memiliki sebanyak tiga UU yang bisa melindungi anak-anak dari para pedofil seperti tersebut di atas tadi. Perlu diingat, UU itu dibuat dengan dana besar yang bersumber dari masyarakat dan juga energi yang besar pula dari masyarakat yang telah memperjuangkannya. Butuh waktu bertahun-tahun hingga akhirnya UU tersebut disahkan. Lantas kenapa tidak ditegakkan? Apa peraturan-peraturan di negeri ini masih saja dibuat untuk dilanggar?(foto: Via dok Surya/Junianto Setyadi)

Tidak ada komentar: