Rabu, 25 Februari 2009

Surat Dari Seorang Sahabat tentang Tokoh Kontroversial.

Perawakannya tinggi besar, berkumis dan berjenggot, rambut agak gondrong tapi semuanya putih. Sembari mengisap rokok dalam-dalam, dia sering duduk di Dome Cafe, Tunjungan Plaza. Di meja cafe itu, juga duduk para politisi lintas parpol, penggerak massa, aktivis organisasi dan ketua-ketua paguyuban. Sosok berjuluk 'Jenggot Putih' tersebut tidak lain adalah Jalil Laconsina, putra Maluku keponakan mantan Gubernur Maluku Akib Latuconsina dan sepupu mantan Gubernur Maluku Saleh Latuconsina. Bagi sahabat-sahabat dekatnya, Jalil akrab disapa 'Abah' atau 'Bang Jalil', sapaan yang menunjukkan kedekatan dan keakraban. Jalil adalah mantan aktivis mahasiswa '77/'78 dan jam terbangnya di dunia aktivis dan kepengurusan ormas sungguh sulit dijangkau aktivis biasa. Dialah satu-satunya penandatangan Petisi 50 dari Jatim. Akibat menandatangani petisi itu serta juga aktivitasnya menantang Soeharto dekade '70-an, Jalil kemudian harus merasakan dinginnya bui di Penjara Koblen, Surabaya. Ia dipenjara karena perkara politik tanpa proses pengadilan. Dasar demonstran, di penjara pun dia menggerakkan para narapidana untuk menuntut hak-hak dasariah, seperti memperoleh makanan yang layak. Dia memprovokasi para napi supaya bergerak memprotes sipir penjara yang tega memangkas jatah makanan empat sehat lima sempurna. Rupanya penjara menjadi tempat silaturahmi bagi sang 'Abah' dengan para napi. Banyak napi saat itu kagum pada wawasan Jalil dan mereka tetap melanjutkan silaturahmi itu meski sudah berada di luar penjara. Dua tahun lalu, alumni penjara Koblen berkumpul dan bersilaturahmi halal bi halal dengan abah di sebuah hotel berbintang. Semua biaya ditanggung oleh Jalil, yang baru saja memperoleh rejeki halal. Saya trenyuh menyaksikan para mantan napi dan keluarganya itu. Begitu melihat Jalil, mereka sesenggukan dan merangkul Jalil. Para sahabat lama kembali bersatu. Masing-masing menceritakan betapa kesehariannya kini sangat sulit karena harga kebutuhan pokok yang terus melambung, apalagi setelah pemerintahan SBY-JK menaikkan harga bensin sampai duakali setahun pada 2005 lalu. Kenaikan harga bensin duakali dalam setahun itu tercatat pertamakali dalam sejarah Indonesia sejak merdeka. Seperti biasa, Jalil hanya menyimak sembari mengisap rokok Dji Sam Soe dalam-dalam. Usai pertemuan silaturahmi itu, saat malam semakin larut, Jalil mengajak saya untuk santap malam di restoran hotel tersebut sembari sedikit berbincang, dan saya pun semakin mengenal sosok kontroversial ini. Ternyata dibalik perawakannya yang sangar, dia adalah orang berhati lembut, dibalik penampilannya yang eksentrik ternyata dia gampang iba. Siapa saja yang datang kepadanya dan berkeluh-kesah tentang kepedihan hidup, pasti disantuninya. Tak jarang, sikap ini kemudian sering dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya cuma ingin merogoh kocek sang abang. Teman-temannya sesama aktivis '77/'78 kini sudah bertebaran. Heri Akhmadi, sudah menjadi politisi Senayan dari PDIP, Ibrahim G Zakir (Bram Zakir) di Jakarta saat ini sudah menjadi rujukan para aktivis lapangan di Jakarta, bahkan Roem Tomatipasang, yang aktif memberdayakan masyarakat itu, kini sudah melanglang buana. Di lingkup Jatim, rekan-rekannya sesama mantan aktivis pun sudah berkibar di panggung politik dan ormas Jatim. Sebut misalnya, Ketua PWNU Jatim Ali Maschan Moesa, Ketua GP Ansor Jatim yang sekaligus Ketua PKNU Choirul Anam, juga sudah berkehidupan layak. Uniknya, Jalil tidak mau memilih jalan pintas jadi kaya dengan memanfaatkan lobi-lobi politik atau jejaringnya di kalangan pebisnis. Jalil lebih memilih untuk tetap di jalur kontroversial, yang tidak semua orang paham sepak-terjangnya. Contohnya, ketika nyaris setiap malam, dia kongkow-kongkow bersama (almarhum) KH Imam Jazuli (Gus Mik), tokoh Semaan Quran Jatim di Hotel Elmi Surabaya (Gus Dur sendiri segan pada Gus Mik). Banyak orang mengira, jamaah Elmi (salah-satu penggembiranya adalah Emha Ainun Najib) itu sedang mendem bir atau minum cocktail tiap malam, tapi sebenarnya, kalau disimak baik-baik dan diikuti dengan seksama, justru Jamaah Elmi itu sedang berbincang tentang tema-tema sufi dan politik, yang sulit dijangkau orang awam. Namun demikian, jangan salah sangka dulu. Jalil toh tetap membumi. Ketika menghadiri diskusi rutin Jamaah Elmi itu, sering pula Jalil mengajak para bromcorah, preman atau pengamen jalanan, untuk ikut menikmati santap malam di hotel. Kadang jumlah mereka sampai puluhan, dan mereka senang sekali bisa makan rutin nyaris seminggu dua kali bersama sang abah. Sembari makan, biasanya mereka bersenda-gurau dan kebiasaan Jalil ini dimulai sejak ia keluar dari penjara dan meniti karir bisnis dengan mendirikan perusahaan bernama PT Salamander Jaya. Suatu ketika saya tanya pada dia, kenapa dinamakan salamander? Itu kan nama binatang. ''Salamander itu binatang yang bisa hidup dimana saja, Rud. Harapanku, perusahaan ini bisa hidup dalam situasi apapun, termasuk dalam musim pancaroba politik...hehehe'' jawab Jalil singkat. Ajaibnya, PT Salamander memang tetap eksis ditengah krisis berkelindan sepanjang tahun 1997-1998. Rupanya, Jalil memang piawai menggerakkan roda bisnis dan ia acap pula membagi-bagikan uang hasil bisnis itu kepada wong cilik, yang diundangnya santap malam dan pulang diberi sangu segepok duit. Jangan ditanya soal main politik. Jalil ini justru dedengkot politisi Jatim. Banyak politisi, dari parpol apapun di DPRD Jatim dan DPRD Surabaya yang kenal, akrab dan sering sowan ke Jalil. Mereka sering terlihat dinasehati untuk tidak terlalu rakus makan uang APBD dan menghambur-hamburkan uang untuk studi banding. Jalil tahu perilaku para politisi itu. Suatu ketika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Ir Soetjipto mengeluhkan ke Jalil, ihwal perilaku beberapa anggota DPRD dari PDIP yang bandel sering studi banding, sulit dinasehati DPP. Tanpa pikir panjang, Jalil pun membongkar kasus perselingkuhan sang politisi bandel itu di media massa. Seluruh tetangga kanan-kiri disamping rumah sang politisi dikirim edisi koran yang memuat skandal politisi itu secara gratis, spontan pada siang hari itu sang politisi menelepon Jalil, ingin ketemu. Saat bertemu di cafe Dome, sang politisi itu memohon ampun kepada Jalil. Dia menghiba-hiba agar Jalil tidak meneruskan serangan 'character assasination' itu. Jalil cuma menjawab singkat,''Jangan minta ampun ke saya, kamu tobat ke Tuhan, bukan ke saya,''. Bagi yang belum kenal dengan Jalil, sering sinis beranggapan, bahwa Jalil adalah preman, khususnya preman politik. Meski istilah preman itu sendiri sebenarnya masih layak diperdebatkan. Jalil jelas tidak bisa disamakan dengan para pengurus atau aktivis Pemuda Pancasila (PP), Pemuda Panca Marga (PPM) atau FKPPI. Justru sebaliknya, para aktivis ormas kepemudaan itu sangat hormat, tunduk dan patuh kepada Jalil. Pada tahun 2003, ketika Vedi Hadiz melakukan penelitian bertopik 'predatory capitalist' di tingkat lokal, saya membawa Vedi menemui Jalil dan Vedi mewawancarai Jalil sampai larut malam. Seakan tahu kesukaan Vedi, sebelum Vedi datang ke kantornya Jalil di Jl Makam Peneleh, Surabaya, Jalil sudah menyediakan sebotol champagne merah. Vedi pun agak terkejut, darimana Jalil tahu kebiasaannya meminum anggur itu. Tak lama berselang, diskusi pun berlangsung gayeng sembari sesekali meneguk secawan anggur. Jalil menjadi salah-satu narasumber bagi Vedi dan pada salah-satu tulisan Vedi yang terbit disebuah jurnal internasional, nama Jalil ikut termuat. Itulah sekelumit kisah 'Robin Hood' Surabaya. Ia kontroversial, sering dianggap preman meski anggapan itu sulit dibuktikan jika merujuk kepada apa dan bagaimana preman (free-man) itu. Jalil tidak pernah peduli dengan tudingan apapun kepada dirinya. Yang dia peduli adalah berpihak kepada mereka yang membutuhkan, tanpa kecuali. Ia akrab dengan para abang becak, para PKL, bercanda dengan pengamen-pengamen kecil, tapi dia juga bisa garang menghadapi politisi badung di Jatim dan Surabaya. Uniknya, acapkali saya menemukan dia ketika sendiri di ruang kerjanya yang semi-modern, menonton tayangan CNN atau BBC (meski ia tidak begitu paham bahasa Inggris), sembari ia membaca buku puisi Kahlil Gibran. Saya kadang tertawa ngakak, kalau sudah menemukan dia dalam keadaan begitu...(Surabaya Medio Februari 2009)

Tidak ada komentar: