Kamis, 26 Februari 2009

Refleksi Politik Surabaya 2004-2009 (catatan politik)

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) boleh mengklaim sebagai partai dakwah, partai bersih, partai anak muda atau partai reformis (?), tapi kenyataan di lapangan seringkali berbicara lain. Banyak politisi PKS yang tidak berbeda perilakunya dari politisi partai lain. Bedanya mungkin hanya satu: politisi PKS memelihara jenggot, politisi lain tidak. Cuma itu saja. Selebihnya, politisi PKS sama saja dengan politisi parpol lain. Malah acap lebih parah. Politisi PKS lebih naif dalam bermain politik. Mereka tidak bisa melihat realpolitik sebagai arena pragmatis, yang harus dibedakan dari wacana politik yang memang idealis. Kedua wilayah itu dicampuradukkan dan bahkan merugikan PKS sendiri. Selama Pemilu 2004, PKS di Surabaya memang tampil mengejutkan karena berhasil meraup tiga kursi di DPRD, lalu bersama dengan Partai Demokrat (PD), mereka membentuk Fraksi Demokrasi dan Keadilan (FDK). Sejak awal dilantik sebagai anggota dewan, para politisi PKS sudah menunjukkan gejala canggung menghadapi sorotan publik. Alih-alih untuk memperjuangkan hajat hidup warga Surabaya, mereka justru terjebak kedalam putaran wacana politik yang tidak jelas. Mereka larut dalam idiom-idiom politik yang mengawang-awang, jarang membumi dan kurang memperlihatkan sikap terbuka kepada keaneka-ragaman interest. Dibandingkan politisi Golkar, meski sama-sama baru masuk gedung dewan, politisi PKS jelas kalah luwes. Ketidakluwesan mereka tampak nyata ketika memasuki masa rencana pembentukan koalisi antara bulan Februari sampai April 2005. Karena merasa ditinggal oleh PD yang berkoalisi dengan PAN, maka PKS berusaha mendekati PDIP. Lobi-lobi tingkat atas mulai berjalan, sejumlah pertemuan digelar, antara politisi PKS dan PDIP. Kenapa PDIP tertarik dengan PKS? Tidak lain dikarenakan klaim sepihak dari PKS, bahwa mereka punya mesin politik sampai tingkat kecamatan, RT/RW, yang siap digerakkan. Klaim semacam itu tentu saja manjur untuk dijadikan pemikat kepada PDIP, tapi klaim itu belum tentu mujarab untuk membentuk koalisi permanen menuju Pemilihan Walikota (Pilwali) 2005. Masalahnya sederhana, PDIP bukanlah parpol kemarin sore. Para politisi PDIP di Surabaya adalah mantan demonstran, aktivis dan sudah teruji di lapangan. Begitu mereka mendengar PKS mempunyai mesin politik yang tangguh, serta-merta mereka melakukan pengecekan di lapangan. Hasilnya? PKS hanya kuat di beberapa kantong saja, seperti di kecamatan Sukolilo, kecamatan Pabean Cantikan (daerah Tanjung Perak) dan kawasan Kauman Kalimas Udik. Di tiga kawasan itu, PKS memang unggul dalam perolehan suara pada Pemilu 2004. Selebihnya, PKS rontok. Nah, fakta politik ini tentu menjadikan para politisi PDIP berpikir ulang untuk menyepakati rencana koalisi dengan PKS. Apalagi, belum apa-apa PKS sudah menyodorkan 'kontrak politik' yang wajib ditandatangani ketua DPC PDIP beserta jajarannya. Tentu saja, setelah melihat isi kontrak itu, para politisi PDIP geleng-geleng kepala sembari mengurut dada, sebab dalam kontrak itu PKS implisit sudah minta jatah kekuasaan. Belum berkuasa saja sudah minta jatah, apalagi nanti kalau koalisi jadi dibentuk, tentu PDIP yang akan ditunggangi. Begitu kira-kira jalan pikiran politisi PDIP. Untuk menunjukkan keseriusan, PKS mendatangkan Sekjen DPP PKS Suripto. Mantan orang BAKIN ini jauh-jauh datang ke Surabaya khusus untuk mendorong PKS agar jadi berkoalisi dengan PDIP. Meski berlatarbelakang intelijen, Suripto tetap tidak bisa membaca peta politik Surabaya yang khas. Informasi dari DPW maupun DPD PKS kepada Suripto hanyalah informasi akan kadarnya, bukan informasi yang bisa diolah menjadi data untuk aksi-aksi lapangan. Suripto menganggap kehadirannya bisa memberi sinyal kepada PDIP Surabaya, bahwa PKS bersungguh-sungguh hendak berkoalisi. Akan tetapi, ada faktor lain yang luput dari pertimbangan atau perhatian Suripto Cs. Faktor itu adalah permainan politik non-formal diluar lobi-lobi resmi lintas parpol. Ketika Suripto merancang strategi bersama PKS di kantornya di Jl Embong Wungu, Surabaya. Pada saat yang sama, kelompok politisi jalanan memainkan strateginya. Mereka adalah Jalil, Cholik dan beberapa orang, yang biasa nongkrong di Dome Cafe Tunjungan Plaza. Dari pembicaraan mereka, tersingkap bahwa mereka akan mendorong Arif Affandi (Pimred Jawa Pos) untuk maju sebagai calon wakil walikota (cawawali). Untuk itu, diperlukan kecepatan menggunting pendekatan yang dilakukan PKS kepada PDIP, setelah itu Arif Affandi dipasangkan dengan Bambang DH. Suripto tak mengetahui rencana ini. Dia sibuk dengan analisa gombal ala politisi PKS yang baru belajar politik. Politisi PKS terlalu beranggapan, bahwa permainan politik itu bersifat linier. Entah mengapa, mereka mengabaikan adagium lama, bahwa bermain politik itu harus faham lapangan dan teknik bermain zig-zag, bukan permainan lurus bak rumus matematika. Pada 16 Februari 2005, Arif mendaftar ke sekretariat PDIP dengan diringi reog Ponorogo dan para pendukungnya. Nyaris seluruh jurnalis, reporter dan jajaran media massa ikut hadir dalam launching di gedung PWI Jatim itu. PKS spontan kaget setengah mati. Mereka tidak menyangka, Arif akan mau dipasangkan sebagai cawawali dengan Bambang DH, sebab selama ini rumor yang beredar, Arif akan maju sebagai cawali, bukan cawawali. Ketika fakta berbicara lain, politisi PKS pun tak berkutik dan mereka hanya terdiam membisu. Habis sudah peluang mereka untuk bisa masuk ke lingkungan Pemkot Surabaya. Sebab, parpol lain pun sudah tak mau menggandeng PKS yang acap 'jual mahal' dan selalu ja-im (jaga imej). Begitu Arif sampai di kantor sekretariat pendaftaran PDIP, ia langsung disambut Bambang DH dengan senyum. Maka, buyarlah harapan PKS untuk bisa digandeng PDIP. Saat itu juga, Suripto langsung ngacir terbang balik ke Jakarta. Ini merupakan pelajaran berharga buat PKS yang acap gembar-gembor sebagai parpol reformis (?), bahwa liku-liku politik bukanlah jalan yang mudah semudah mereka berdakwah di kalangan ABG politik. Tapi rupanya, PKS tetaplah PKS, kesalahan fatal politisi PKS di Surabaya kemudian terulang kembali di Banten dan DKI Jakarta, meski dalam Pilwali Depok mereka menang, tapi itu kemenangan massa PKS, bukan dikarenakan kepiawaian politisi PKS.(Ini sepenggal tulisan yang tidak dimuat di media pada waktu itu karena sesuatu hal.tulisan ini berdasarkan pengamatan,pandangan mata,penggalian informasi tentang catatan politik Arif Afandi,saya adalah terlibat dalam kancah politik 2004-2009. Waktu itu saya bagian dari sub ordinasi dari Jalil Latuconsina.bertugas sbg penggalangan massa untuk dukungan kpd Arif Afandi di rumah makan taman apsari surabaya.(Penulis Bidot Suhariyadi.)

Tidak ada komentar: