Rabu, 25 Februari 2009

Politisi berwajah ‘Tom Cruise’

Dalam salah satu karyanya, Yasraf Amir Piliang yang berjudul Transpolitika (dinamika politik di dalam era virtualitas) mengajak kita untuk membayangkan: “bayangkan sebuah dunia politik yang di dalamnya tidak ada ruang politik, melainkan ruang digital politik. Tidak ada kebenaran politik melainkan manipulasi politik. Tidak ada kepercayaan politik melainkan perdayaan politik. Tidak ada realitas politik melainkan fatamorgana politik. Tidak ada kebajikan politik melainkan permainan bebas politik. Inilah dunia politik yang di dalamnya terjadi perubahan mendasar mengenai definisi dan pemahaman tentang ruang, kebenaran, kepercayaan, realitas, transendensi politik; yang mengubah pula secara mendasar konsep tentang politik itu sendiri.” Dalam tulisan ini, ingin saya paparkan tentang model (ber) politik yang lebih banyak focus pada persoalan sebagai ‘pencitraan’ para politisi dalam ruang (imaginasi) politik. politisi yang berhati seperti ‘Kapten Nathan Algren’ dalam film The Last Samurai. Dalam konteks ini, adalah penting bagi kita untuk melihat bagaimana politisi itu muncul atau menampilkan dirinya ke dalam ruang public, karena dunia politik bukan hanya sebagai ruang tempat lalu lalang para actor, sarana, prasana dan objek politik saja (fisikal dan psikis) akan tetapi juga sebagai ruang bagi ide, gagasan dan juga konsep. politisi secara tidak langsung melalui berbagai sarana yang dapat merepresentasikan dirinya, pemikiran dan tindakannya. Hal ini dapat dilihat melaui perang poster dan perang baliho oleh politisi di jalan-jalan . Hal lain yang juga dapat dilakukan oleh politisi adalah melalui cara, seperti mengundang para jurnalis secara massif. Peristiwa tersebut kemudian dapat di hadirkan kembali (representasi) melalui media surat kabar, majalah atau televisi dalam bentuk yang lebih heroic, lebih santun, lebih populis dan sebagainya. Yang pasti peran penulisnya atau wartawan sangat mempengaruhi penampilan kembali dari politisi tersebut. Tidak jarang malah tercipta ruang dimana imanensi politik terganggu oleh aspek-aspek luar dirinya. Maksudnya, peristiwa politik tidak lagi murni dimainkan oleh para politikus tetapi juga oleh actor diluar politikus (salah satu contoh adalahjurnalis). prorepresentasi atau penampilan politisi melalui ruang digital dimana pencitraan dapat dilakukan secara ‘membabi buta’ sekedar membangun image ‘baik’, image ‘peduli rakyat’, image ‘berjiwa muda’, image ‘seorang pemimpin kharismatik’ dan sebagainya. Segala tingkah laku politisi tidak lagi tercipta berdasarkan logika politik, misalnya hubungan antara penguasa dan rakyat (principal – agent) dimana rakyat menuntut politisi mengabulkan. Tetapi yang terjadi justru penampakan para politisi itu sangat ditentukan oleh logika dan mekanisme media itu sendiri seperti ‘idola’ atau ‘pengidolaan’ politisi melalui berbagai mekanisme pencitraan yang mengikuti gaya media komunikasi dan informasi seperti iklan dll. Segalanya di poles habis untuk membangun citra yang bukan sebenarnya. Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa penampakan politisi secara nyata (present/presentasi) akan membentuk logos dan kebenaran yang dapat disaksikan secara langsung. Sedangkan penampakan politisi melalui sarana (represent/representasi) dapat menimbulkan ‘kesan’ atau image belaka yang kebenarannya belum tentu dapat diterima. Dan lebih parah penampakan secara virtual jauh-jauh lebih tidak realistis karena politisi sebenarnya tidaklah tampil tetapi justru dicitrakan dan menampakkan banyak ketidak benaran akan dirinya seolah-olah benar.

Tidak ada komentar: