Kamis, 16 Oktober 2008

Penderitaan Sapi

Inilah gambaran penderitaan tak terperi dari sapi-sapi karapan, salah satu tradisi masyarakat di Pulau Madura, Jawa Timur.Sapi-sapi itu berpacu dalam kesakitan, dan pantatnya berdarah. Cairan merah itu meleleh akibat garukan paku sang joki yang ditancapkan pada gagang kayu seperti parut.Tidak hanya itu. Mata, pantat yang luka, dan sekitar lubang anus si sapi diolesi cuka, sambal, dan balsem.Pada kondisi seperti itu, tidak jelas apakah setiap pasangan sapi karapan, --orang Madura menyebut kerapan atau kerabhan--, berlari karena kekuatan ototnya atau karena ingin lepas dari rasa sakit.Pada suatu kali, setiap pasang sapi akan diadu beberapa kali. Artinya, sapi-sapi tersebut akan mendapatkan perlakuan menyakitkan berulang-ulang.Selain paku yang ditancapkan pada tongkat sepanjang sekitar 15 sentimeter itu, bagian dalam ekor sapi diikat dengan kayu yang juga berpaku.Saat berlari, ekor yang dipasangi kayu berpaku itu naik turun dan menusuk kulit sekitar dubur sapi. Tidak seperti manusia, si sapi tentu saja tidak cukup akal untuk mendiamkan ekornya saat berlari.Ada lagi yang berbeda. Ada ekor sapi yang tak berpaku, namun kondisinya tak kalah menyakitkan. Ekor sapi itu terlihat diikat karet yang sangat ketat. Akibat aliran darah tidak berjalan, dipastikan menimbulkan rasa sakit.Sapi-sapi itu terlihat meronta, menghentak-hentakkan kaki dan mengeluarkan dengusan nafas berulang-ulang. Tidak heran jika setiap pasangan sapi karapan harus dipegang oleh banyak orang agar tidak lari sembarangan.Manusia penggemar karapan itu agaknya tanpa beban memperlakukan sapi untuk satu tujuan, menang. Mereka juga mudah bertindak untuk menyembuhkan bekas luka pada sapi, meskipun hal tersebut menimbulkan rasa sakit baru.Luka pada pantat sapi itu ditetesi spiritus, zat cair yang mengandung alkohol dan mudah menguap. Ada juga yang ditetesi air panas campur garam. Dengan cairan itu luka-luka diyakini bisa cepat kering dan sembuh.Ada suasana kontras pada pesta tradisi itu. Sapi-sapi tersiksa, sementara manusia "berpesta".SronenMasyarakat yang memadati arena karapan menikmati tetabuhan "sronen".Sronen atau saronen adalah musik yang mengandalkan semacam trompet, kendang, kenong, dan gong.Para pemain musik itu menggunakan busana hitam-hitam, pakaian khas Madura, dengan kaos lorek merah putih terlihat karena baju luar dibiarkan tidak menggunakan kancing.Untuk sronen ini, pemilik sapi karapan menganggapnya sesuatu yang harus ada. Menurut mereka, kalau karapan tanpa sronen, sama dengan selamatan kematian.Pesta dalam bentuk lain juga terlihat dari orang-orang yang sibuk bertukar uang taruhan. Pesta, kesakitan sapi, dan judi, telah melebur dalam tradisi itu.Gambaran mengenai tradisi karapan sapi seperti di atas masih lestari hingga saat ini.Bahkan, untuk karapan Piala Presiden yang tahun ini akan digelar 25-26 Oktober 2008 di Stadion Sunarto Hadiwijyo, Pamekasan, tampaknya masih akan melanjutkan tradisi penyiksaan tersebut.Karapan sapi yang oleh masyarakat dan pemerintah di Madura sejak lama ingin dijual menjadi andalan pariwisata menghasilkan itu memang jauh dari sportivitas dan profesionalitas lomba.Kalau dalam olahraga manusia begitu ketat masalah doping, panitia karapan justru masih membiarkan pemilik sapi berlomba-lomba menggunakan berbagai cara.Dari catatan pemangku budaya di Madura, tradisi karapan yang mengabaikan peri-kehewanan itu sebetulnya merupakan penyimpangan dari budaya aslinya.Diduga kekerasan itu terjadi sejak masuknya pemilik modal dalam karapan sapi.Karapan sapi yang tadinya digelar secara santai untuk hiburan setelah petani memanen hasil sawah, berubah menjadi sesuatu yang menegangkan.Akibat logika seperti itulah diduga para pemilik karapan mencari berbagai muslihat agar sapinya menang. Maka muncullah "penyelewengan" dari semangat awal karapan sapi.Ketua Yayasan Pakem Madduh, Pamekasan, Madura, H. Kutwa, mengakui adanya penyimpangan dari karapan itu. Karenanya ia berharap, agar karapan sapi dikembalikan ke tradisi asal yang tidak dipenuhi dengan kekerasan."Saya juga tidak terima kalau karapan sapi itu ada unsur kekerasan pada hewan. Padahal waktu saya masih kecil, tidak ada karapan memakai paku," katanya.Pembantu Rektor I Universitas Madura (Unira), Pamekasan itu, mengemukakan bahwa munculnya penyiksaan pada sapi itu sekitar tahun 1980-an. Diperkirakan, penggunaan paku dan kekerasan lainnya karena semakin kerasnya kompetisi."Maka cara-cara yang digunakan juga melebihi batas kompetisi seperti itu. Karena itu, alangkah baiknya jika tradisi karapan sapi dikembalikan ke asalnya yang hanya mengadu kekuatan otot sapi," katanya.Menurut dia, tradisi karapan sapi di Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep yang menjadi asal muasal karapan sapi, hingga kini masih menggunakan cara lama, yakni mengandalkan kekuatan otot.Untuk itu, pemilik sapi kerapan di Sapudi melatih sapinya di daerah berpasir.Dinas Peternakan atau instansi terkait yang membidangi penyelenggaraan karapan sapi itu, katanya, harus memikirkan masalah tersebut, misalnya, dengan mengeluarkan aturan agar tidak boleh ada kekerasan.Sementara dosen Jurusan Peternakan Unira, Ir. Malika Umar, MSi juga menyatakan, tidak setuju dengan adanya kekerasan pada sapi karapan. Karena itu, harus diatur agar masalah itu tidak terus menerus menjadi tradisi baru."Praktek seperti itu kan menyalahi 'animal welfare' atau kesejahteraan satwa. Karena itu dinas terkait harus memperhatikan juga. Misalnya, Dinas Peternakan mengadakan dialog dan penyuluhan kepada para pemilik sapi kerapan," katanya.Ia mengemukakan, memang tidak mudah mengajak masyarakat di Madura untuk melakukan perubahan terhadap sesuatu yang sudah lama berjalan. Namun demikian, jika hal itu dilakukan secara intensif dan benar, maka lambat laun, pemilik sapi ksrapan akan memahami."Contohnya, dulu zaman saya kuliah, pemilik sapi karapan memberikan telur sampai 500 butir untuk sekali jamu pada sapi. Tapi setelah diberi penyuluhan dan penyadaran bahwa telur sebanyak itu tidak ada artinya, mereka ikut berubah," kata alumni Undip Semarang itu.Peneliti pada Pusat Penelitian Madura dan Jawa Universitas Jember (Unej), Sutjitro mengemukakan bahwa pada umumnya kiai di Madura tidak keberatan dengan tradisi karapan."Namun mereka tidak setuju dengan cara penyiksaan karena menyiksa binatang itu dosa. Demikian juga dengan judi atau taruhan yang dianggap haram," katanya.Sejumlah pemilik sapi karapan di Kabupaten Pamekasan sebetulnya setuju jika tradisi itu tidak lagi menggunakan kekerasan.Salam, pemilik sapi "Se Anak Manja", Saleh, pemilik "Se Tossa" dan P. Elma, pemilik "Se Abantal Ombak Asapok Angin" menyatakan, mereka tidak keberatan jika kekerasan itu dihapuskan."Tapi harus semua tidak menggunakan paku dan kekerasan lainnya. Kalau tidak tegas, satunya menggunakan, satunya tidak, maka itu tidak bisa, karena yang tidak pakai paku pasti dirugikan," kata P. Elma, warga Murtajih, Kecamatan Pademawu.Menurut Salam yang juga PNS di Kelurahan Baru Rambat Timur, Pamekasan, sebetulnya tidak semua sapi cocok menggunakan kekerasan. Ada juga sapi yang justru tidak mau lari jika disakiti."Karena itu saya setuju jika ada aturan karapan sapi tidak membolehkan menggunakan paku," katanya.Saleh menambahkan, sebetulnya sejarah awal karapan sapi memang tidak menggunakan paku, melainkan menggunakan bunyi-bunyian dari bambu. Namun hal itu berubah dengan menggunakan duri yang digarukkan ke pantat."Lama-lama menggunakan paku sehingga memang menyakiti sapi. Tapi mau bagaimana lagi kalau semua memang menggunakan paku. Kalau tidak, sapinya bisa kalah beradu lari," katanya.Meskipun pemilik sapi tidak keberatan dengan larangan menggunakan kekerasan, tampaknya masih sulit mengembalikan karapan ke tradisi aslinya.Pemerintah sebagai penyelenggara, yakni Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Madura yang memiliki otoritas mengenai hitam putihnya tradisi itu tampak belum ada keinginan untuk berubah.Kepala Bakorwil Madura, Makmun Dasuki mengatakan, kekerasan dalam karapan dianggapnya tidak membahayakan, karena dengan olesan ramuan tertentu lukanya cepat sembuh."Jadi sulit menghilangkan penggunaan paku seperti itu, karena sudah menjadi tradisi. Penggunaan paku itu mulai tahun 1980-an, sedangkan sebelumnya tidak ada," kata Pembina Umum Panitia Karapan Sapi Piala Presiden 2008 itu.Ia membandingkan tradisi matador di Spanyol yang justru lebih membahayakan karena melibatkan manusia dan banteng. Padahal, ada perbedaan mendasar dari tradisi yang sama-sama menampilkan kekerasan itu.Pada matador, manusia yang menghadapi bahaya berada pada posisi berdaya karena hal itu adalah pilihan. Sementara sapi pada tradisi karapan berada pada kondisi tidak punya pilihan atau terzalimi.Makmun hanya menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan untuk menghilangkan tradisi kekerasan semacam itu di masa mendatang. Keterangan Foto: Pantat sapi yang terluka sedang ditetesi spiritus. (Antara Foto : via Antara Saiful Bahri)

Tidak ada komentar: